TEMPO Interaktif, Jakarta:Terpidana mati kasus narkoba, Rani Andriyani, 30 tahun, melalui kuasa hukumnya akan menggugat Presiden Megawati Soekarnoputri ke pengadilan terkait penetapan eksekusi hukuman mati sejumlah terpidana. Demikian disampaikan kuasa hukum dari Serikat Pengacara Rakyat, Habiburokhman, Jumat (13/8), dalam konferensi pers di Jakarta. Habib menjelaskan, gugatan perdata dengan dasar perbuatan melawan hukum itu akan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal itu karena Presiden sebagai penyelenggara negara telah mengabaikan wewenang untuk menegakkan HAM seperti diatur dalam Pasal 71 UU No. 29 Tahun 1999. Habib juga berencana mengajukan gugatan ke Pengadilan HAM ad hoc dengan dalil Presiden telah melakukan pelanggaran HAM yang meluas dan sistematis."Hukuman mati jelas melanggar hak manusia untuk hidup, karena itu harus ditolak," ujar Habib. Lebih lanjut dia mengatakan, penerapan hukuman mati telah melanggar Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 mengenai setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidup.Dia menambahkan, hukuman mati bukan metode yang tepat untuk mengurangi kriminalitas. Dia mencontohkan, di tiga negara yang menjalankan eksekusi hukuman mati tertinggi di dunia seperti Cina, Amerika Serikat, Iran, angka kriminalitas tiap tahun tetap meningkat. Dia juga memaparkan, saat ini lebih dari separuh negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati. Selain Rani Andriyani, saat ini ada enam terpidana mati yang menunggu eksekusi. Enam terpidana mati kasus narkoba itu yakni Meirika Franola (32), Deni Setia Maharwan (30), Merri Utami (30), Edith Sianturi (26), Nonthanam M. Saicchon (23), Bunyong Khaosar (46). Keenam terpidana yang ditangkap polisi di Bandara Soekarno Hatta tersebut dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena kasus penyelunduan heroin.Erma Yulihastin - Tempo News Room