Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja berbincang-bincang dengan anggota Komisi Ahmad Yani (kiri) dan M. Noerdin (kanan), sebelum mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin, 25 Juni 2012. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Langkah Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Adnan Pandu Praja yang mencabut tanda tangannya dalam surat perintah penyidikan dianggap tidak etis. Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, alasan Pandu yang mencabut tanda tangannya adalah hal janggal dan tidak masuk akal.
Akil menjelaskan, sebelum meneken sprindik seharusnya Pandu sudah membaca naskahnya. Kecuali, jika Pandu meneken sprindik dalam keadaan tidak sadar. Adnan mestinya diberi sanksi Komite Etik KPK karena sikapnya tersebut. "Internal yang bisa menghukum adalah penasihat KPK," ujar Akil kemarin.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, merasa heran dengan tindakan Pandu yang mencabut tanda tangannya. Sebagai praktisi hukum, Hifdzil melihat hal itu kesalahan teknis. "Kalau memang belum yakin, sebaiknya tidak tanda tangan dulu. Jangan nanti kemudian dicabut," katanya.
Hifdzil pun menganggap bahwa Anas layak ditetapkan sebagai tersangka dalam proyek Hambalang, meski nilai bukti suap Toyota Harrier di bawah Rp 1 Miliar. Menurut Hifdzil ada opsi lain yang bisa menjerat Anas berdasarkan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 11.
"Dilakukan penyelenggara negara dan kasus korupsinya menyita perhatian publik," kata Hifdzil. Menurut dia, kasus Hambalang sangat menyita perhatian masyarakat. Di sisi lain, katanya, saat itu Anas menduduki jabatan publik sebagai anggota DPR. Dengan alasan itu Anas layak ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut catatan Tempo, KPK pernah menangani kasus korupsi yang nilainya di bawah Rp 1 miliar. Kasus itu antara lain, perkara suap sebesar Rp 150 juta terhadap hakim Kartini Marpaung dalam kasus korupsi pengadaan mobil dinas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Grobogan, Jawa Tengah, senilai Rp 1,9 miliar.
Selain itu, KPK menangkap tangan Ibrahim, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, yang menerima Rp 300 juta terkait kasus sengketa tanah. Ibrahim tertangkap KPK pada 31 Maret 2010. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta sudah memvonis Ibrahim dengan hukuman 6 tahun penjara.
FEBRIANA FIRDAUS | NUR ALFIYAH | EVAN | BOBBY CHANDRA