Kapal TNI AL KRI Dewaruci tiba di Komando Lintas Laut Militer Tanjung Priok, Jakarta, (11/10) setelah mengikuti Operation Sail 2012 di Amerika Serikat dalam peringatan 200 Tahun Perang Besar. TEMPO/Yosep Arkian
TEMPO.CO, Pekanbaru - Pakar sejarah abad 17 dan abad 18, Bondan Kanumoyoso, menyatakan masyarakat etnis Melayu memiliki budaya maritim. Hal tersebut tampak dari persebaran etnis Melayu di sepanjang pesisir lautan.
"Karakter Melayu itu cenderung maritim sehingga memang terbuka bagi budaya lain," kata Bondan dalam acara Dialog Budaya Melayu, Selasa, 4 Desember 2012.
Pada abad 17 dan abad 18, masyarakat Melayu tersebar di sepanjang pesisir Laut Jawa, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Samudera Hindia. Letak mereka di dekat laut sehingga memungkinkan interaksi dengan budaya luar. Interaksi dagang orang Melayu dan luar tidak hanya pertukaran ekonomi, tetapi juga nilai dan budaya.
Dalam interaksi tersebut, masyarakat Melayu menyerap budaya lain sembari mengenalkan budaya mereka sendiri. Hal ini menjadi salah satu penyebab karakter orang Melayu terhadap budaya lain sangat terbuka.
Salah satu kota pelabuhan besar pada abad tersebut adalah Kota Malaka. Kota tersebut menjadi kota dagang internasional yang menghubungkan masyarakat Eropa dan Asia. Kota ini, kata Bondan, menjadi besar karena kebijakan pimpinan Melayu yang sangat kondusif untuk dunia dagang.
Pada pertengahan abad ke-17 sendiri, Kota Riau tumbuh menjadi kota pelabuhan besar dengan karakter yang hampir sama dengan Kota Malaka. Jaringan kota dagang ini semakin maju justru terjadi polemik intern dalam Kesultanan Melayu Riau pada abad 18.
Saat polemik tersebut semakin besar, kekuasaan politik kota dagang Riau jatuh ke tangan masyarakat Bugis yang pergi dari Makassar karena desakan VOC. Para pedagang ini ke luar dari Sulawesi menuju Riau bersama jaringan dagang mereka.
"Budaya Melayu yang maritim sangat cocok dalam interaksi dagang dengan dunia luar. Ini juga yang menyebabkan orang dan budaya Melayu tersebar luas," kata Bondan.