TEMPO.CO, Jakarta - Kisruh rebutan penyidik antara Mabes Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi melahirkan hikmah penting untuk gerakan pemberantasan korupsi. Gara-gara kasus itu, KPK mulai merekrut sendiri penyidik mereka.
Selain polisi, para penyidik KPK berasal dari berbagai latar belakang. “Ada yang dari jurusan sejarah, ada sastra Arab, ada teknik sipil, elektro, dan hukum,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dalam wawancara khusus yang dimuat majalah Tempo pekan ini.
Latar belakang yang berbeda ini penting, kata Bambang, karena setiap kasus korupsi yang ditangani KPK memiliki keunikan masing-masing dan memerlukan kemampuan khusus.
Penyidik yang juga sarjana sastra Arab penting untuk membongkar kasus yang terkait dengan korupsi pengadaan Al-Quran, misalnya. “Anda pikir membongkar kasus korupsi Al-Quran tidak pakai bahasa Arab? Memang transaksinya di Indonesia? Kalau penyidik pergi ke Arab, masak, sih, cuma tahu kata halal dan haram doang?” kata Bambang sambil tertawa.
Menurut Bambang, jumlah ideal penyidik KPK harus sama dengan lembaga sejenis di negara lain. Komisi antirasuah di Malaysia yang jumlah penduduknya 30 juta, misalnya, punya 5.000 pegawai. “Padahal, sekarang KPK hanya punya 88 penyidik,” kata Bambang. Seharusnya, KPK punya 40 ribu pegawai dengan 8.000 penyelidik, penyidik, dan penuntut.
Air keras disiramkan ke wajah Novel Baswedan. Patut diduga, otak pelakunya berkeinginan agar Novel roboh dan KPK rapuh. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Novel Baswedan adalah ikon di KPK. Karena itu, menyerang Novel berarti pula menggempur KPK.