Undang-Undang Zakat Dinilai Diskriminatif
Editor
Yandi M rofiyandi TNR
Rabu, 24 Oktober 2012 17:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dinilai diskriminatif. Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Zakat (Komaz), Heru Susetyo, mengatakan, UU tersebut memberi perlakuan berbeda kepada operator zakat nasional bentukan pemerintah, yakni Baznas, dengan lembaga amil zakat bentukan sipil.
Diskriminasi itu ada dalam Pasal 5, 6, dan 4 UU Zakat. "Pasal-pasal itu menyentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di tangan Baznas. Sementara inisiatif masyarakat diberikan ruang sempit karena hanya membantu Baznas dalam pengelolaan zakat," kata Heru dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu, 24 Oktober 2012.
Padahal, kata Heru, lembaga amil zakat bentukan sipil berpotensi mengumpulkan zakat lebih besar. Sebab, selama ini, masyarakat memilih menyumbangkan zakat ke amil yang tepercaya dan ada sejak lama, serta berlokasi tak jauh dari tempat tinggalnya.
Pengumpulan zakat oleh Baznas dianggap Komaz berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Apalagi Baznas memiliki wewenang sebagai regulator, supervisor, dan operator sekaligus. "Bagaimana mungkin operator diberikan amanat untuk menilai kelayakan beroperasi lembaga pengumpul zakat?"
Komaz juga mengkritik Pasal 38 dan 41 UU Zakat karena berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap lembaga amil zakat bentukan masyarakat. Pasal itu mengatur amil zakat yang tidak mengantongi izin pejabat berwenang terancam pidana bui setahun dan denda Rp 50 juta. Yang disayangkan Komaz, pasal itu berpeluang mengkriminalisasi ulama dan tokoh masyarakat yang biasa membantu pengumpulan zakat.
"Komaz tak keberatan dengan pidana penjara atau denda jika memang lembaga amil itu tidak amanah terhadap dana yang disetor umat. Tapi, kalau alasannya karena tidak mengantongi izin pejabat berwenang, menurut kami itu sesat pikir," ujar Heru.
Pengamat sejarah filantropi Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Amelia Fauziah, mengatakan, UU Zakat semula memang berniat baik untuk menertibkan pengelolaan zakat. Namun, dalam perjalanannya, UU itu justru merugikan masyarakat sipil sendiri. "UU malah akan menurunkan gerakan zakat di masyarakat," ujarnya.
Komaz mengajukan gugatan terhadap sejumlah pasal UU Zakat. Mereka menilai sentralisasi pengelolaan zakat di tangan pemerintah mematikan lembaga amil zakat nasional dan daerah. Sebab, mereka mesti mendaftarkan diri ke pemerintah untuk bisa beroperasi.
Pasal 18 ayat (1) UU Pengelolaan Zakat mengatur pembentukan lembaga amil zakat wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri. Mekanisme perizinan dalam pembentukan lembaga amil zakat merupakan penerapan asas kepastian hukum dalam pengelolaan zakat.
Menteri Agama Suryadharma Ali berkukuh, pengelolaan zakat mesti dilakukan pemerintah. Menurut Suryadharma beberapa waktu lalu, wajar jika lembaga amil zakat mesti mendaftarkan diri. Sebab, pemerintah mesti mendata jumlah zakat yang terkumpul secara nasional dan peruntukannya.
Suryadharma berharap pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi nantinya bisa obyektif dan menempatkan lembaga amil zakat pada posisi semestinya, seperti termaktub dalam UU Pengelolaan Zakat. "Pengaturan lembaga amil zakat penting untuk menghindari penyimpangan," kata dia.
ISMA SAVITRI
Baca juga:
PPATK Temukan Transaksi Mencurigakan Hambalang
7 Indikasi Penyimpangan Proyek Hambalang
BPK Isyaratkan Nama Menteri Andi Masuk
Berapa Kerugian Hambalang versi KPK?
Suap Proyek Al-Quran Mengalir ke Gema MKGR