Aktivis Sahabat Munir melakukan aksi kampanye menuntut penuntasan secara hukum kasus Munir di Bunderan HI Jakarta (11/03). Aksi dilaksanakan dengan memanfaatkan momentum Jakarta car Free Day di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta. TEMPO/Amston Probel
TEMPO.CO, Jakarta - Meski tinggi badannya tak menjulang, hanya sekitar 160 sentimeter, ketika duduk di bangku kuliah, Munir Said Thalib ternyata jadi idola banyak perempuan. Satu penyebabnya adalah parasnya yang kearab-araban.
“Siapa sih yang enggak tertarik dengan pejantan tangguh, walaupun rambutnya merah,” ujar kawan Munir, Deddy Prihambudi, sambil tertawa terbahak-bahak. Gurauan Deddy muncul dalam film dokumenter tentang Munir berjudul Kiri Hijau Kanan Merah. Film yang disutradarai jurnalis muda Dandhy Dwi Laksono itu diproduksi Watchdoc dan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir pada 2009.
Menurut Deddy--adik kelas Munir di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya--ia sering mendapat cerita dari wanita-wanita yang menyukai Munir. Namun, Munir justru polos-polos saja. Dia bahkan baru menyadari dia butuh seorang pasangan kala semester akhir kuliah. Sebab, di awal-awal kuliah, Munir terlalu sibuk berorganisasi.
Pada 1991, Munir berkenalan dengan wanita yang akhirnya menjadi istrinya, Suciwati. Saat itu, Suciwati ditangkap polisi karena memimpin aksi buruh. Sebagai pengacara di Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Munir mengadvokasi kasus yang menimpa Suciwati. Hubungan advokat dan kliennya ini berlanjut jadi relasi asmara. Empat tahun kemudian, pada 1995, mereka memutuskan untuk menikah. Mereka memiliki dua anak dari pernikahan itu.
Sayang, kisah hidup Munir terpotong delapan tahun lalu. Dia tewas diracun pada 7 September 2004 di atas pesawat Garuda yang membawanya ke Belanda. Pembunuhnya, seorang pilot yang punya hubungan dengan Badan Intelijen Negara, Pollcarpus Budihari Priyanto, dihukum 20 tahun penjara. Sedangkan dalang utama di balik pembunuhan keji ini sampai sekarang tak terungkap.