Ibu dan anak warga Syiah korban konflik SARA dikawal menuju tempat penampungan oleh personil Brimob Polda Jawa Timur dari Desa Karang Gayam, Sampang, Madura, Senin, (8/27). TEMPO/Fully Syafi
TEMPO.CO , Jakarta: Pemuka Syiah Sampang Ustad Iklil berharap anak-anak jemaah Syiah diizinkan kembali sekolah agar tidak putus sekolah. "Saya yakin pihak sekolah maklum atas musibah yang menimpa kami, jadi tidak akan di DO," tuturnya, Sabtu, 1 September 2012.
Dengan kembali sekolah, Iklil yakin para murid bisa lebih cepat menghilangkan trauma serangan. Sebanyak 60 anak warga Syiah bersekolah di berbagai daerah mulai dari Pasuruan, Malang, Rembang, dan Pekalongan.
Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, Andi Irfan, pihaknya dipersulit mendapatkan izin untuk mengantar anak-anak warga Syiah ke sekolah agar tidak tertinggal pelajaran. "Kami dimintai surat kuasa dari pengungsi, saya pikir tidak perlu," katanya.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik Sampang Rudy Setiadi membantah mempersulit. Syarat surat kuasa yang diberikan ke Kontras adalah prosedur untuk menjamin keamanan pengungsi Syiah saat dibawa keluar dari tempat pengungsian. "Prosedurnya memang begitu, sudah dikoordinasikan dengan Camat Omben," ujarnya.
Tak kalah akal, Andi Irfan mengatakan akan berkoordinasi langsung dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur pengembalian anak warga Syiah ke sekolahnya. "Pemrov ternyata bisa tangani masalah ini, biar cepat beres," katanya.
Sejak kematian pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias Abu Wardah, pada 18 Juli lalu, banyak pihak menilai hal itu sebagai keberhasilan ikhtiar negara menumpas akar-akar terorisme. Namun mungkinkah peristiwa tertembaknya seseorang dapat menjelaskan bahwa gerakan radikalisme di Indonesia telah berakhir?