Mantan Karyawan Dirgantara Indonesia Akan Ajukan Kasasi
Reporter
Editor
Rabu, 31 Maret 2004 00:19 WIB
TEMPO Interaktif, Bandung: Mantan karyawan Dirgantara Indonesia (DI) yang menolak kebijakan putus hubungan kerja (PHK) berencana mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat yang memenangkan gugatan banding menajemen DI, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ke Mahkamah Agung (MA). "Selain mengupayakan jalur hukum, putusan PT Jawa Barat juga dirasa janggal, karena dikeluarkan hanya dua hari setelah memori banding diterima PT," kata kuasa hukum karyawan DI, Absar Kartabrata, di Bandung, Selasa (30/3).Pihak manajemen DI, BUMN dan BPPN mengirimkan memori banding pada 18 Maret 2004 dan diterima PT Jawa Barat pada 23 Maret 2004. Keputusan banding kemudian keluar pada 25 Maret 2004. "Memang tidak melanggar ketentuan surat edaran MA, tapi PT Jawa Barat tidak hati-hati. Karena surat pemberitahuan penyerahan memori banding ditanda-tangani Irwan S. Indrapraja sebagai pengacara pihak karyawan. Padahal, karyawan sendiri belum menunjukknya. PT Jawa Barat tidak memeriksa terlebih dulu," kata Absar. Tentu saja ini menambah persoalan: para mantan karyawan bisa menuntut Irwan S. Indrapraja atau mengajukan pemeriksaan ulang terhadap kesalahan itu. Tapi, seperti dikatakan Arif Minardi -koordinator aksi karyawan, "yang kami persoalkan adalah sikap hakim yang tergesa-gesa, sampai tidak memeriksa surat kuasa pengacara itu". Majelis hakim PT Jawa Barat yang dipimpin Simanjuntak, SH memang telah memutuskan banding yang diajukan menajemen DI dan lainnya: membatalkan seluruh putusan Pengadilan Negeri Bandung pada 18 Februari 2004 yang membatalkan penetapan rasionalisasi enam ribu karyawan -hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) DI pada 19 dan 22 Agustus 2003. Selain itu, pihak mantan karyawan juga dihukum untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 300 ribu.Majelis hakim menilai, RUPSLB 19 dan 22 Agustus 2003 itu bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Karena RUPSLB merupakan organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dan segala kewenangan yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris. Sehingga, petitum-petitum penggugat (mantan karyawan) yang dikabulkan hakim tingkat pertama, tidak mempunyai dasar hukum dan harus dibatalkan.Tapi menurut Absar, RUPSLBlah yang tidak sah. Karena keputusan RUPSLB didasarkan pada Surat Keputusan (Skep) pengrumahan yang dikeluarkan Direktur Utama PT. Dirgantara Indonesia, Edwin Soedarmo pada 11 Juli 2003. Sementara, keluarnya Skep itu tidak didasarkan pada persetujuan semua direksi -hanya dua direksi setuju dari lima direksi yang ada. Untuk itulah, PTUN Bandung membatalkan Skep itu. "Lantaran Skep sudah dibatalkan, keputusan RUPSLB tentunya menjadi tidak sah. Ini faktanya, yang tidak akan bisa berubah sampai ke tingkat mana pun," kata Absar. Rinny Srihartini - Tempo News Room