TEMPO Interaktif, Sukoharjo:Akibat berbagai krisis yang dialami sejumlah pabrik tekstil di Sukoharjo sejak tahun 1999, sedikitnya 10 ribu buruh pabrik tekstil mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), karena banyak perusahaan tekstil melakukan efisiensi atau tutup. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Forum Komunikasi Pekerja Sukoharjo (FKPS) Joko Sucipto."Krisis yang dialami industri pabrik tekstil dimulai sejak tahun 1999 silam. Sampai saat ini sudah sekitar 10 ribu pekerja tekstil yang di-PHK karena berbagai krisis itu. Data sebanyak itu merupakan data limit. Artinya kenyataan yang terjadi sesungguhnya sangat mungkin lebih besar," ujarnya kepada wartawan, Minggu (21/3). Krisis tersebut di antaranya karena berkurangnya bahan baku utama pembuatan tekstil, yaitu rayon, serta pembatasan kuota tekstil dan produk tekstil (TPT). Jumlah pekerja yang di-PHK itu, lanjut Joko, adalah yang terpantau dari beberapa perusahaan tekstil besar di Sukoharjo, seperti Sritex yang telah mem-PHK 2.500 karyawan dan PT Tyfountex yang mem-PHK 5.000 karyawannya. "Kalau perusahaan besar memang bisa dengan mudah dipantau. Sedangkan perusahaan tekstil kecil agak sulit untuk kita pantau. Jadi jumlah riil pekerja yang di-PHK lebih besar dari angka 10 ribu itu, papar Joko.Menyinggung soal bahan baku, kata Joko, selama ini perusahaan tekstil mengimpor rayon sebagai bahan baku utama dari Rusia, Australia, dan beberapa negara Eropa lainnya. Namun kini rayon tersebut sangat sulit untuk didapatkan. Selain masalah bahan baku, kata Joko, para pengusaha tekstil juga mengalami kesulitan karena ada penurunan kuota tekstil dan produk tekstil (TPT). Dulu kuota TPT ini dibagi untuk pasaran luar negeri sebesar 60 persen dan dalam negeri sebesar 40 persen. "Kini kuota TPT itu mengalami penurunan hampir 50 persen. Akibatnya kapasitas produksi perusahaan tekstil menjadi jauh berkurang. Karena itu perusahaan kemudian melakukan efisiensi. Salah satu caranya ya dengan mem-PHK karyawannya," ungkapnya.Sementara itu, Ketua FKPS Deden Sumarsono menyatakan, selain mengalami krisis akibat langkanya bahan baku dan pengurangan kuota TPT, permasalahan lainnya adalah karena banyak investor yang lari dari Indonesia. Mereka melarikan modalnya dari Indonesia, kata Deden, karena biaya produksi di Indonesia sangat tinggi, sebab di Indonesia banyak sekali biaya siluman yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.Baik Joko maupun Deden meminta pemerintah tidak tinggal diam atas persoalan ini. Mereka menyesalkan karena selama ini pemerintah dinilai cenderung lepas tangan dari permasalahan ini. Ketika ada pengurangan TPT, pemerintah cenderung diam dan tidak berbuat apa-apa.Lebih lanjut, Deden juga mengecam sikap Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) yang terkesan lamban dalam mengatasi masalah membengkaknya angka pekerja yang di-PHK ini. "Malahan Disnaker seringkali tidak tahu permasalahan ketenagakerjaan. Data pasti tentang jumlah pekerja yang di-PHK saja mereka tidak punya. Padahal ini menjadi bidang tugas mereka," tandasnya. Anas Syahirul - Tempo News Room