Polwan National Traffic Management Centre, Avvy Olivia (kiri) dan Eka Frestya di Jakarta. (Tempo/Arnold Simanjuntak)
TEMPO.CO, Jakarta - Markas Besar Kepolisian mengerahkan polisi wanita untuk meredam kemungkinan aksi anarkistis para pendemo kenaikan harga bahan bakar minyak. Strategi ini diterapkan karena sebagian besar pengunjuk rasa adalah pria. "Ini pendekatan secara soft dari kami," kata juru bicara Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, saat ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa, 27 Maret 2012.
Saud menilai strategi ini adalah yang paling soft untuk meredam emosi massa. Keberadaan polisi wanita diharapkan bisa mengatasi kemungkinan munculnya tindak anarkistis. Massa diperkirakan akan mereda bila berhadapan dengan sosok wanita. "Paling tidak ini merupakan upaya kita supaya kegiatan massa ini bisa berjalan baik," katanya.
Keberadaan polisi wanita juga diharapkan dapat meminimalkan munculnya provokasi untuk bertindak anarkistis dan perusakan. Tapi, bila aksi sudah mengarah pada anarkistis, kata Saud, polisi wanita akan langsung ditarik ke belakang dan digantikan polisi bersenjata tameng. "Kalau masyarakat menganiaya perempuan, itu sudah keterlaluan juga, hati nuraninya di mana?" kata Saud.
Kepolisian Daerah Metro Jaya mengerahkan masing-masing satu kompi polisi wanita di kawasan gedung MPR/DPR dan di kawasan Monas. Keberadaan mereka memang ditujukan untuk meredam aksi anarkistis di dua tempat yang rawan tersebut.
Dalam penanganan aksi demo ini, Saud melanjutkan, Kepolisian tidak menggunakan senjata api. Anggota polisi yang bertugas hanya dilengkapi tameng dan tongkat. Selain itu, untuk pengendalian, beberapa anggota membawa laras licin dan gas air mata. "Semuanya untuk melindungi anggota kita dari serangan, bukan untuk menyerang pendemo," kata Saud.