TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty Internasional meminta pemerintah Indonesia memastikan akuntabilitas atas kekerasan polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat. Anggota Amnesty Internasional untuk kampanye Indonesia dan Timor-Leste, Josef Roy Benedict, menyatakan bahwa jika ada temuan tindakan kekerasan dari aparat keamanan, maka mereka harus bertanggung jawab.
"Harus dituntut dalam proses yang memenuhi standar internasional tentang peradilan yang adil dan korban diberikan reparasi," kata Josef dalam siaran persnya, Rabu, 11 Januari 2012.
Pada penyelidikan awal yang dikembangkan Komnas HAM, muncul indikasi polisi telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Josef menyatakan Komnas HAM menemukan bahwa Kapolresta Bima telah memberikan perintah untuk menggunakan kekerasan.
Polisi meninju, menendang, dan menyeret pengunjuk rasa yang sudah tidak melakukan perlawanan. "Komisi juga menemukan bukti bahwa polisi telah menyembunyikan tempat kejadian dengan mengumpulkan selongsong peluru-peluru yang tersebar di daerah penembakan," kata Josef.
Amnesty International berpendapat aparat keamanan telah melanggar hak untuk hidup dan kebebasan dari penyiksaan serta perlakuan kejam atau penghukuman, tidak manusiawi atau merendahkan martabat berdasarkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Selain itu, pihak kepolisian juga sudah melanggar peraturan polisi Indonesia tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian atau Perkap Nomor 1 Tahun 2009.
Pada 24 Desember 2011 lalu, para polisi terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa yang memblokir jalan ke Pelabuhan Sape dekat Bima. Polisi diduga melepaskan tembakan dan menggunakan kekerasan berlebihan terhadap para pengunjuk rasa sehingga menewaskan sedikitnya tiga orang dan melukai sekitar 80 lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak.
EZTHER LASTANIA
Berita terkait
Komnas HAM Catat Ada 12 Peristiwa Kekerasan di Papua pada Maret-April 2024
13 hari lalu
Komnas HAM mendesak pengusutan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua secara transparan oleh aparat penegak hukum
Baca SelengkapnyaPrajurit Siksa Warga Papua, Kapuspen: TNI Bukan Malaikat
29 hari lalu
Kapuspen TNI menyebut jumlah anggota TNI ribuan, sedangkan yang melakukan penyiksaan hanya sedikit.
Baca SelengkapnyaAmnesty International: Penganiayaan di Papua Berulang karena Pelaku Tak Pernah Dihukum
35 hari lalu
Amnesty Internasional mendesak dibentuknya tim gabungan pencari fakta untuk mengusut kejadian ini secara transparan, imparsial, dan menyeluruh.
Baca SelengkapnyaKontraS Minta Panglima TNI Segera Bahas Reformasi Peradilan Militer
6 Oktober 2021
Hasil pemantauan KontraS selama Oktober-2021-September 2021 menunjukkan reformasi peradilan militer jalan di tempat.
Baca SelengkapnyaSerial Netflix Populer Ungkap Pelecehan yang Terjadi di Militer Korea Selatan
16 September 2021
Serial Netflix Deserter Pursuit memicu perdebatan tentang militer Korea Selatan karena menceritakan pelecehan dan kekerasan selama wajib militer.
Baca Selengkapnya2 Anggota Lakukan Kekerasan ke Warga Papua, TNI AU Minta Maaf
27 Juli 2021
TNI AU menyatakan penyesalan dan meminta maaf atas insiden dua anggotanya yang melakukan kekerasan terhadap seorang warga Papua di Merauke.
Baca SelengkapnyaJokowi Diminta Investigasi Kasus Kekerasan di Paniai Papua
5 Juli 2018
Amnesti Internasional Indonesia meminta Jokowi membentuk tim investigasi guna mengungkap kasus kekerasan yang terjadi di Paniai, Papua.
Baca SelengkapnyaBerdamai, Dokter Militer dan Petugas Bandara Bersepakat Ini
8 Juli 2017
Keduanya menyepakati bentuk pertanggungjawaban Guyum setelah menampar adalah meminta maaf secara tertulis kepada Fery, institusi, dan PT Angkasa Pura.
Baca SelengkapnyaTampar Petugas Avsec Bandara, Dokter Militer Mengaku Refleks
8 Juli 2017
Jumat malam, polisi melepas Guyum setelah menandatangani kesepakatan damai dan bersalaman dengan Fery.
Baca SelengkapnyaBerdamai, Polisi Melepas Dokter Militer Penampar Petugas Bandara
8 Juli 2017
Guyun mengaku salah dan meminta maaf atas penamparan yang dilakukannya. "Proses damai berjalan lancar tanpa ada intervensi pihak manapun."
Baca Selengkapnya