TEMPO Interaktif, Jakarta - Saksi Budianto Hari Purnomo menyebutkan peran bekas Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jacobus Purwono, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus proyek pengadaan pembangkit listrik tenaga surya. Budianto memberikan kesaksian ini dalam sidang terdakwa kasus korupsi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ridwan Sanjaya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta, Kamis, 24 November 2011.
Menurut Budianto, Kepala Seksi Listrik Pedesaan Ditjen LPE, baik terdakwa, Jacobus, maupun DPR, sama-sama menitipkan perusahaan untuk dimenangkan dalam lelang proyek PLTS pada 2009 silam. "Ada perusahaan teman dekat Pak Dirjen (Jacobus) yang seharusnya enggak lolos, tapi diloloskan. Saya tahu soal itu karena dia (bos perusahaan tersebut) sering ke kantor," ujarnya.
Budianto yang saat itu menjadi anggota Panitia Pengadaan menjelaskan proyek PLTS mencakup 28 paket pengadaan di semua provinsi di Indonesia, kecuali DKI Jakarta. Nilai proyek sekitar Rp 526 miliar. Di tengah proses lelang, Panitia Pengadaan mendapat titipan perusahaan dari sejumlah pihak.
Pengakuan Budianto sesuai dengan yang dinyatakan jaksa penuntut umum KMS Roni dalam dakwaannya. Jaksa menyebut DPR bermain mata dengan Ridwan yang saat itu menjadi Pejabat Pembuat Komitmen. Ridwan pada Mei 2009 kemudian menyampaikan arahan kepada Panitia Pengadaan agar memenangkan sejumlah perusahaan titipan DPR, Kejaksaan, dan Kepolisian.
Perusahaan yang dititipkan adalah PT Ridho Tehnik untuk memegang paket proyek SHS di Aceh, PT Paesa Pas Indo di paket Sumatera Selatan dan Bengkulu, dan PT Berdikari Utama Jaya di paket Sumatera Barat. "Kemudian terdakwa juga mengatakan untuk mengakomodasi keinginan dari anggota DPR, maka terdakwa meminta Panitia Pengadaan agar mengangkat nilai perusahaan," kata jaksa Roni.
Kepada ketua majelis hakim Gusrizal, yang menanyainya, Budianto membenarkan Ridwan mengintervensi proses lelang dengan memintanya memenangkan perusahaan-perusahaan tersebut. Caranya dengan mengkatrol nilai teknis perusahaan titipan dalam evaluasi lelang. "Ada perusahaan yang harus dimenangkan atas permintaan terdakwa, dengan menaikkan nilainya (dalam tender)," terangnya.
Karena sukses melaksanakan perintah kedua atasannya, Budianto mengaku menangguk imbalan Rp 100 juta dari Ridwan. Namun separuh duit itu dia klaim sudah dikembalikan ke terdakwa karena takut. Adapun mengenai aliran duit ke rekannya sesama Panitia Pengadaan, ia mengaku tak tahu. Budianto yang sepanjang pemeriksaan menjawab dengan terbata-bata, sempat mengeluh saat berulang kali ditanya keterlibatan DPR dalam kasus ini. "Saya stres," ujar dia. Hakim akhirnya menengahi dan meminta agar tidak mengulang pertanyaan sebelumnya terhadap saksi karena saksi tampak ketakutan.
Saat dipersilakan memberi tanggapan oleh Gusrizal, Ridwan menyanggah keterangan Budianto yang menyebut dirinya mengintervensi proses evaluasi lelang Panitia Pengadaan. Ia mengklaim, selama ini selalu meminta proses lelang dilakukan sesuai prosedur.
Ridwan Sanjaya terancam hukuman maksimal 20 tahun kurungan karena terlibat kasus ini. Jaksa dalam dakwaannya menyebut Ridwan bersama Jacob Purwono mengarahkan Panitia Pengadaan barang untuk memenangkan rekanan tertentu dengan cara mengubah hasil evaluasi teknik dalam pelaksanaan pengadaan dan pemasangan Solar Home System.
Tindakan Ridwan dan Jacobus dinilai bertentangan dengan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa sehingga merugikan keuangan negara Rp 131,28 miliar. Ridwan sendiri disebut jaksa memperkaya diri sendiri sebesar Rp 14,66 miliar dan memperkaya Jacob yang hingga kini belum ditahan KPK sebesar Rp 1 miliar.
Tak hanya memperkaya diri sendiri dan bosnya, perbuatan Ridwan dinilai merugikan korporasi. Ridwan disebut memperkaya PT Ridho Tehnik untuk pekerjaan di NAD sebesar Rp 3,86 miliar, PT Somit Karsa Trienergi untuk pekerjaan di Sumatera Utara Rp 4,2 miliar, dan 26 perusahaan lain. Dalam dakwaan, jaksa menyebut Ridwan pernah menyerahkan selembar kertas tulisan tangan yang berisi daftar 28 nama perusahaan yang harus dimenangkan kepada Budianto.
ISMA SAVITRI
Berita terkait
Tersangka Suap Satelit Bakamla Kembalikan Uang Suap ke KPK
20 Juli 2018
Fayakhun Andriadi, tersangka suap satelit bakamla, mengembalikan uang Rp 2 miliar ke KPK.
Baca SelengkapnyaDatang ke KPK dalam Suap Eni Saragih, Idrus Marham Irit Bicara
19 Juli 2018
Menteri Sosial Idrus Marham memenuhi panggilan KPK. Ia dipanggil sebagai saksi untuk tersangka suap proyek PLTU Riau-1 Eni Saragih.
Baca SelengkapnyaSuap PLTU Riau, KPK Geledah Ruang Kerja Eni Saragih di DPR
16 Juli 2018
KPK menggeledah ruang Eni Saragih terkait perkara suap PLTU Riau.
Baca SelengkapnyaEksklusif Eni Saragih: Saya Pikir Rezeki dari Swasta itu Halal
16 Juli 2018
Tersangka dugaan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I Riau Eni Saragih mengakui menerima uang dari swasta.
Baca SelengkapnyaKPK Tetapkan Bos Apac Group Tersangka Suap Anggota DPR
14 Juli 2018
KPK) menetapkan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo sebagai tersangka pemberi suap anggota DPR, Eni Maulani Saragih.
Baca SelengkapnyaKPK Duga Eni Saragih Bukan Penerima Tunggal Suap Proyek PLTU Riau
14 Juli 2018
KPK menduga Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eni Saragih bukan satu-satunya pihak yang menerima suap proyek PLTU Riau.
Baca SelengkapnyaKPK Tetapkan Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eni Saragih Tersangka
14 Juli 2018
KPK menetapkan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Saragih sebagai tersangka penerima suap terkait proyek pembangunan PLTU di Riau.
Baca SelengkapnyaSuap Eni Saragih Diduga Terkait Kewenangan Komisi VII DPR
13 Juli 2018
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan penangkapan anggota DPR Eni Saragih diduga berkaitan dengan kewenangan Komisi VII.
Baca SelengkapnyaKPK Periksa Amin Santono sebagai Tersangka Suap RAPBN-P 2018
22 Mei 2018
KPK memeriksa politikus Demokrat Amin Santono sebagai tersangka kasus suap RAPBN Perubahan 2018.
Baca SelengkapnyaTerima Suap Rp 7 Miliar, Musa Zainuddin Divonis 9 Tahun Penjara
15 November 2017
Musa Zainuddin divonis sembilan tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Musa terbukti menerima suap Rp 7 miliar.
Baca Selengkapnya