TEMPO Interaktif,
Jakarta:Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya Luhut Pakpahan memastikan segera mengeksekusi mati terpidana Nyonya Sumiarsih dan Sugeng secepatnya. Senin (17/2), dia akan menemui keduanya di Lembaga Pemasyarakatan Wanita dan Lowokwaru, Malang, untuk menyampaikan salinan penolakan grasi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Pokoknya, secepatnya. Soal kepastian waktu dan tempat, semua kami rahasiakan, ujar Luhut pada Tempo News Room di Surabaya, Minggu (16/2) siang. Kini, detak kehidupan Sumiarsih dan Sugeng tinggal menghitung waktu. Biasanya, setelah salinan itu diberikan eksekutor, terpidana mati akan ditempatkan di sel khusus. Sembari menunggu eksekusi, terpidana akan mendapat bimbingan dari rohaniwan. Undang-Undang Grasi 22/2002 mengatur, paling lambat 14 hari setelah keputusan presiden, kejaksaan selaku eksekutor harus menyampaikan pada terpidana. Dan, Senin ini mendekati batas terakhir penyampaian salinan itu setelah penolakan presiden pada 5 Februari. Mengapa salinan belum diterima Sumiarsih dan Sugeng? Pakpahan mengaku salinan itu belum menerima dari pengadilan. Selama ini hanya menerima faksimale dari Kejaksaan Agung. Sumiarsih dan Sugeng dipidana mati Pengadilan Negeri Surabaya pada 19 Januari 1989 karena terbukti melakukan pembunuhan berencana yang menewaskan Letkol Marinir Purwanto, istri, dua anak dan satu keponakan, Agustus 1988. Semua korban dihabisi secara sadis: kepala dihantam lalu mayat dibuang di jurang Songgoriti, Batu, Malang. Selain Sumiarsih, kasus itu juga diotaki suaminya, Djais Adi Prayitno juga dipidana mati tetapi telah meninggal dunia karena sakit jantung di penjara Kalisosok Surabaya. Keduanya terbelit hutang pada Purwanto, yang sama-sama mengelola rumah bordil di kawasan Dolly, Surabaya. Sedang keterlibatan Sugeng karena menuruti permintaan dua orangtuanya itu. Begitu pula Sersan Dua (Pol) Adi Saputro, menantu Sumiarsih-Djais, yang lebih dulu dieksekusi mati setelah divonis Mahkamah Militer Surabaya. Setelah kasasi ditolak Mahkamah Agung, Djais, Sumiarsih dan Sugeng meminta grasi Presiden Soeharto tapi ditolak 28 Juni 1995. Ketiganya mengajukan PK alias Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, 28 Agustus 1995. Upaya ini gagal. Menyusul pergantian rezim, mereka meminta grasi Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid. Permintaan grasi pada Presiden Megawati adalah yang keempat. Empat belas tahun sudah mereka menjalani hukuman penjara sembari menunggu seluruh upaya hukum itu. Kini, pintu telah tertutup bagi Sumiarsih dan Sugeng. Terlebih lagi Undang-Undang Grasi 22/2002 hanya memberi kesempatan satu kali pada terpidana. Saat ini masih ada dua terpidana mati lain di Surabaya, yakni Nyonya Astini dan Sugik. Keduanya terbukti melakukan pembunuhan berencana, dilakukan sadis dan korban lebih dari satu orang. Pembunuhan itu juga berlatarbelakang utang. Astini menghantam kepala tiga korban, tubuh dicincang lalu dibuang. Sedang Sugik, remaja kuli batu, membunuh satu keluarga. Empat korban tewas dihantam kepalanya, kemudian ditanam di rumah. Tempo hari Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Heru Sutanto menyatakan telah membentuk dua tim penembak dari Brimob. Mereka telah berlatih untuk menunaikan tugas. Kami sudah siap, ujar Sutanto pada wartawan di Surabaya. Menurut Pakpahan, tiga hari sebelum eksekusi, kejaksaan wajib memberitahu keluarga terpidana. Pemberitahuan tidak termasuk tempat dan jam pelaksanaan, ujarnya. Dia berjanji akan menghindari kesalahan, termasuk keterlambatan pemberitahuan salinan penolakan grasi dari presiden. Karena itu Senin kami ke Malang, lanjutnya. Pelaksanaan teknis hukuman mati diatur Undang-Undang 2/PnPs/1964. Diantaranya menyebutkan, eksekusi harus dilakukan sampai terpidana sungguh mati. Batas waktu pelaksanaan yakni maksimal 30 hari sejak terpidana menerima salinan keputusan proses hukum terakhir. Bila terpidana hamil, hukuman dilaksanakan usai persalinan. Maksimal, 40 hari sejak melahirkan. Eksekusi dilakukan oleh kejaksaan yang menangani perkara itu sejak pengadilan tingkat pertama. Dan, permintaan terakhir dari terpidana mestilah dipenuhi eksekutor, kecuali yang bersifat menghalangi pelaksanaan hukuman. Undang-undang itu juga mengatur, regu tembak terdiri dari 12 orang: satu bintara, 10 tamtama dan seorang perwira selaku komandan. Sedang jarak tembak dibatasi antara 5-10 meter. Terpidana ditutupi kepala dengan kain hitam tapi boleh menolak dan mesti didampingi rohaniwan. Perwira itu memberi aba-aba dengan pedang. Ayunan ke atas sebagai perintah semua senapan diarahkan ke jantung. Dan, kibasan ke bawah adalah perintah menarik pelatuk. Serentak! Bila terpidana belum mati, tembakan berikut diarahkan ke kepala. Diantara regu tembak, tidak ada yang tahu senapan yang terisi peluru tajam dan hampa. Senjata tidak boleh organik, dan dilaksanakan oleh Brimob.
Adi Sutarwijono Tempo News Room