TEMPO Interaktif,
Jakarta - Hari ini, Amir Jamaah Anshorut Tauhid Abu Bakar Ba'asyir kembali diadili. Dalam sejarah hidup pria kelahiran Jombang 17 Agustus 1938 tersebut, ini adalah pengadilan yang keempat dalam hidupnya.
Ba'asyir, yang biasa dipanggil Ustad Abu, mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, Jombang, Jawa Timur (1959) dan Fakultas Dakwah Universitas Al-Irsyad, Solo, Jawa Tengah (1963).
Karirnya dimulai dengan menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Solo. Ba'asyir kemudian menjabat Sekretaris Pemuda Al-Irsyad Solo, terpilih menjadi Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (1961), Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam, dan memimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, (1972), sebelum akhirnya memimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di tahun 2002 dan kemudian JAT.
Inilah sejarah pengadilan terhadap Baasyir:
1983
Abu Bakar Ba'asyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar karena dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila. Ia juga dianggap merupakan bagian dari gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto)--salah satu tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Jawa Tengah. Di pengadilan, keduanya divonis 9 tahun penjara.
11 Februari 1985
Ketika kasusnya masuk kasasi, Ba'asyir dan Sungkar dikenai tahanan rumah. Saat itulah Ba'asyir dan Sungkar melarikan diri ke Malaysia. Dari Solo mereka menyeberang ke Malaysia melalui Medan. Menurut Pemerintah AS, di Malaysia itulah Ba'asyir membentuk gerakan Islam radikal, Jemaah Islamiah, yang menjalin hubungan dengan Al-Qaeda.
1999
Sekembalinya dari Malaysia Ba'asyir langsung terlibat dalam pengorganisasian Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan salah satu dari salah satu organisasi Islam baru yang bergaris keras. Organisasi ini bertekad menegakkan Syariah Islam di Indonesia.
10 Januari 2002
Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo menyatakan akan segera melakukan eksekusi putusan kasasi MA terhadap Ba'asyir.
19 April 2002
Ba'asyir menolak eksekusi atas putusan Mahkamah Agung untuk menjalani hukuman pidana dalam kasus "Pancasila sebagai azas tunggal" pada tahun 1982. Ba'asyir menganggap Amerika berada di balik eksekusi atas putusan yang sudah kadaluarsa itu.
20 April 2002
Ba'asyir meminta perlindungan hukum kepada pemerintah dan menganggap dasar untuk vonisnya, Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, kini tak berlaku lagi, dan pemerintah pun sudah memberi amnesti serta abolisi kepada tahanan dan narapidana politik.
8 Mei 2002
Kejaksaan Agung akhirnya memutuskan tidak akan melaksanakan eksekusi terhadap Ba'asyir. Alasannya, dasar eksekusi tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 11/ PNPS/1963 mengenai tindak pidana subversi sudah dicabut dan dianggap melanggar hak asasi manusia.
23 September 2002
Majalah TIME menulis berita dengan judul Confessions of an Al Qaeda Terrorist. Dalam laporan tersebut Ba'asyir disebut-sebut sebagai perencana peledakan di Masjid Istiqal. Time menduga Ba'asyir sebagai bagian dari jaringan terorisme internasional yang beroperasi di Indonesia. TIME mengutip dari dokumen CIA yang menuliskan bahwa Ba'asyir "terlibat dalam berbagai plot." Ini menurut pengakuan Umar Al-Faruq, pemuda warga Yaman berusia 31 tahun yang ditangkap di Bogor dan dikirim ke pangkalan udara di Bagram, Afganistan, yang diduduki AS.
25 September 2002
Dalam wawancara khusus dengan TEMPO, Ba'asyir mengatakan bahwa selama di Malaysia ia tidak membentuk organisasi atau gerakan Islam apapun. Selama di sana ia dan Sungkar hanya mengajarkan pengajian dan mengajarkan sunah Nabi. "Saya tidak ikut-ikut politik. Sebulan atau dua bulan sekali saya juga datang ke Singapura. Kami memang mengajarkan jihad dan ada di antara mereka yang berjihad ke Filipina atau Afganistan. Semua sifatnya perorangan," kata Ba'asyir. Ba'asyir mengadukan TIME atas berita itu dengan pasal pencemaran nama baik.
14 Oktober 2002
Ba'asyir mengadakan konferensi pers di Pondok Al-Islam, Solo dan mengatakan peristiwa bom Bali merupakan usaha AS untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris.
18 Oktober 2002
Ba'asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI menyusul adanya pengakuan Umar Al Faruq kepada Tim Mabes Polri di Afghanistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali.
27 Februari 2003
Kejaksaan menyatakan berkas pemeriksaan kasus Ba'asyir lengkap. Keesokan harinya, polisi menyerahkan Ba'asyir ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Ba'asyir tidak lagi didakwa mencoba membunuh Presiden Megawati dan terlibat peledakan bom malam Natal, melainkan dituduh mencoba menggulingkan pemerintahan yang sah atau makar.
23 April 2003
Sidang perkara makar dengan terdakwa Ba'asyir digelar pertama kalinya oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di gedung Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta Pusat. Ba'asyir diancam pidana 20 tahun, maksimal seumur hidup.
12 Agustus 2003
Jaksa menuntut Ba'asyir 15 tahun penjara. Empat dakwaan yang dituduhkan yaitu makar, menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik, memalsukan surat, dan selaku orang asing yang berada di wilayah Indonesia secara tidak sah.
10 November 2003
Pengadilan tinggi menurunkan hukuman menjadi 3 tahun penjara. Keterlibatan Ba'asyir dalam aksi makar tidak terbukti. Ia hanya melanggar keimigrasian.
3 Maret 2004
Putusan kasasi di Mahkamah Agung menurunkan lagi hukuman Ba'asyir menjadi satu setengah tahun penjara.
30 April 2004
Baasyir bebas dari penjara. Hanya saja, pagi esok harinya, ia dijemput polisi dan dibawa ke Mabes Polri dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana terorisme terkait peledakan bom Hotel JW Marriott dan bom Bali .
Maret 2005
Ba'asyir divonis 2 tahun 6 bulan penjara
Juni 2006
Ba’asyir bebas
9 Agustus 2010
Baasyir ditangkap di Ciamis, Jawa Barat, karena diduga membiayai pelatihan teroris di Aceh.
14 Februari 2011
Baasyir mulai diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
PDAT | BERBAGAI SUMBER | AM