TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menegaskan dirinya tidak pernah mengobral pemberian remisi bagi narapidana yang ada di seluruh Indonesia.
Ia menilai munculnya berita yang menyatakan dirinya selama ini mudah memberikan remisi ke narapidana adalah anggapan keliru. "Itu saya mau klarifikasi dulu, siapa yang bilang saya mau obral remisi?" kata Patrialis ketika Tempo mengunjungi open house di kediamannya di kawasan Jalan Denpasar Raya, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (10/9).
Dalam acara tersebut Patrialis mengatakan pemberian remisi yang ia lakukan bukanlah aksi menebar kebaikan. Namun, remisi adalah pemberian hak orang secara tepat dan benar. "Jadi itu bukan obral. Nah ini yang harus dipahami," ucap dia.
Jadi jika ada orang yang menganggap dirinya mengobral remisi, kata Patrialis, tandanya orang itu tidak paham mengenai aturan hukum dan aturan perundang-undangan yang berlaku. Ia justru memastikan akan terus memberikan remisi kepada setiap narapidana asalkan sesuai ketentuan. "Selama peraturan perundang-undangannya tidak berubah, saya pasti jalan terus."
Patrialis beralasan, remisi itu menjadi harapan setiap narapidana untuk berbuat baik selama menjalani masa hukuman. Setiap narapidana berusaha selalu berbuat baik tentu salah satunya lantaran ingin memperoleh remisi. "Coba kalau kita hapuskan adanya penilaian soal remisi itu, semua penjara bisa-bisa akan dibakar."
Menurutnya, upaya mempersulit pemberian remisi bahkan untuk para narapidana kasus kejahatan luar biasa --korupsi, narkoba, dan terorisme-- justru dapat membahayakan bagi keamanan dan kelangsungan proses pembinaan narapidana dalam lembaga pemasyarakatan.
Ia membayangkan begitu hak narapidana tidak ia berikan pada waktunya, yang terjadi adalah pemberontakan besar-besaran di dalam penjara. Hal itu tentu menjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Bagi para pelaku tindak kejahatan korupsi, terorisme, dan narkoba, Patrialis mengatakan mereka sudah mendapatkan perlakuan khusus dalam hitungan pemberian remisi. Perlakuan tersebut membedakan narapidana umum dengan narapidana kasus kejahatan luar biasa.
Jika narapidana umum baru mendapat remisi seusai menjalani masa hukuman 6 bulan, maka pelaku tindak kejahatan luar biasa baru mendapat remisi setelah menjalani sepertiga masa hukuman mereka. "Itu kan ada perbedaannya juga."
Sejauh peraturan perundang-undangan tentang remisi belum diubah, lanjut Patrialis, maka dirinya akan mengikuti peraturan yang ada. Jika pemerintah menunda atau menahan pemberian remisi hanya karena menuruti permintaan orang, maka akibatnya bisa runyam. Pemerintah bisa dituntut, bahkan oleh HAM internasional.
Pemerintah harus memberikan hak orang, kecuali peraturan perundang-undangannya tidak mengizinkan demikian. "Maka lebih baik sekarang biarkanlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Saya berikan hak orang sesuai hukum daripada saya nanti dituntut," ujarnya.
Hari ini Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi khusus Hari Raya Idul Fitri kepada 42.823 orang narapidana. Angka tersebut mencapai lebih dari separuh jumlah seluruh narapidana yang mendekam di lembaga pemasyarakatan di 33 provinsi di Indonesia, yakni 82.123 orang. Pemberian remisi dilakukan secara simbolis oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiyono di Lembaga Pemasyarakatan Karawang, Jawa Barat.
MAHARDIKA SATRIA HADI