TEMPO Interaktif, Balikpapan:Kalangan pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di kawasan Indonesia Timur menolak rencana revisi UU 22/1999 tentang Otonomi Daerah (Otoda). Rancangan revisi yang digarap Departemen Dalam Negeri itu dinilai menghidupkan hubungan pemerintahan pusat-daerah yang sangat sentralistik, terutama kewenangan presiden membubarkan DPRD. “Hasil silaturahmi 15 DPW (setingkat provinsi) PPP se-Indonesia Timur antara lain merekomendasikan kepada DPP PPP agar berjuang dengan kemampuan yang ada sehingga revisi UU Otonomi tersebut tidak terwujud, terutama pasal-pasal yang bernuansa sentralistik," ujar Khairul Fuad, Ketua DPW PPP Kalimantan Timur, kepada Tempo News Room di Balikpapan, Kamis (7/2). Silaturahmi itu sendiri berlangsung di Balikpapan 6-7 Februari, dihadiri Wapres Hamzah Haz selaku Ketua Umum DPP PPP. Sikap politik itu menambah daftar panjang reaksi keras dari daerah setelah sebelumnya Asosiasi Pemerintahan Kabupaten se-Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) melancarkan sikap serupa. Khairul menjelaskan, pasal yang paling ditentang oleh PPP se-Indonesia Timur yakni pasal kewenangan presiden untuk membubarkan DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota. “Pasal ini, bahkan melebihi rezim Orde Baru,” ujar Khairul. Kendati demikian, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno tidak mempedulikan suara-suara penentangan itu. Ketika mendampingi Wapres Hamzah Haz di Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara, kemarin, Mendagri menganggap pasal tentang kewenangan presiden membubarkan DPRD sangat diperlukan. "Kalau ada dua daerah yang kemudian bergabung, misalnya, bukankah DPRD setempat harus dilebur. Agar tidak kacau, presiden mesti diberi kewenangan membubarkan DPRD-nya. Jadi, pasal ini jangan dianggap pemerintah pusat hendak mengebiri lembaga perwakilan di daerah," ujarnya. (Redy MZ)