Demikian diingatkan pengajar sosiologi korupsi dari Newcastle University, Australia, George J Aditjondro, pada diskusi bertajuk Metamorfosis Korupsi Era Orde Baru ke Era Gus Dur, di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta, Jumat (2/2) siang.
Aditjondro meramalkan, jika Mega didaulat untuk menggantikan Gus Dur, ia tidak akan bertahan lama. “Megawati akan di-Benazir-Bhuto-kan, karena korupsi suaminya.” Dan, hal itu hanya akan melicinkan kembalinya tiga pilar Orde Baru: oligarki Soeharto, Golkar, dan ABRI. “Ketiganya akan kembali lewat konfigurasi politik baru.”
Lebih jauh, Aditjondro menegaskan, Taufik terlibat dalam sejumlah skandal bisnis politik dan megaproyek. Taufik terlibat dalam “penyelamatan” sejumlah konglomerat papan atas, terutama Syamsul Nursalim (bos grup Gajah Tunggal) dan Marimutu Sinivasan (bos grup Texmaco). Di samping itu, Taufik pun terlibat dalam “pembebasan” Djoko S Tjandra dari perkara manipulasi chessy di Bank Bali.
Selain membebaskan konglomerat, Taufik juga terlibat dalam impor mobil mewah “spanyol”` (separo nyolong) yang disimpan di sebuah showroom, di Jalan Pangeran Antasari, Cipete. Keterlibatan Taufik dalam sejumlah proyek besar pun, kata Aditjondro, sangat mencurigakan. Taufik, misalnya, ambil bagian dalam pembangunan Jakarta Outer Ring Road (JORR), proyek rel kereta api ganda Merak-Banyuwangi, dan proyek jalan trans Papua.
Korupsi Multipartai
Sementara itu, soal korupsi di era reformasi, Aditjondro menilai tidak ada perbaikan yang berarti. “Korupsi hanya mengalami metmofosis, dari oligarki ke korupsi multipartai.”
Ia menjelaskan, di zaman Orde Baru, yang terjadi adalah oligarki monolitik. Semua praktik korupsi besar berhulu dan melibatkan keluarga Cendana. Untuk melicinkan kepentingannya, para pelaku korupsi harus menggandeng keluarga Soeharto dan kroni-kroninya.
Sedangkan, kini, praktik korupsi tidak berpusat pada satu titik. Kalau mau lancar, para pengusaha harus siap menyuap semua partai besar, seperti PDI Perjuangan, Golkar, PKB, dan PAN. Menurut dia, orang partai-partai itu sama-sama gencar mencari dana, baik untuk kampanye maupun memperkaya diri. “Jadi, para pengusaha harus mengeluarkan uang yang lebih besar,” ujarnya. (Jajang Jamaludin)