TEMPO Interaktif, Jakarta - Di saat pemerintah tengah menominasikan angklung sebagai mata budaya dunia ke UNESCO, Indonesia belum memiliki akademisi yang meneliti bidang angklung.
"Kita belum punya akademisi yang menangani angklung, yang ada hanya praktisi," kata Ketua Harian Komisi Indonesia-UNESCO Arief Rachman seusai acara penyerahan Sertifikat UNESCO di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jumat (5/2).
Kondisi ini cukup ironis karena produk kebudayaan Indonesia memiliki sisi intangible yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Sisi intangible yang dimaksud meliputi sisi sejarah, cara pembuatan, filosofis, dan identitas.
Sisi yang sangat luas ini diperoleh dari penelitian yang serius dan mendalam. Seharusnya, menurut Arief, harus ada akademisi yang memperoleh gelar doktor melalui penelitian di bidang angklung.
Angklung memiliki berbagai sisi unik, salah satunya dari segi pemrosesan. "Penanaman bambunya yang tidak boleh sembarangan," ungkap Arief.
Menurut dia, untuk lebih meningkatkan kadar intelektualitas budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata berupaya menyusun daftar intangible heritage. "Daftar itu sedang disusun."
Perjuangan panjang untuk mempelajari budaya bangsa harus dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan universitas. "Sayangnya belum ada jurusan musik angklung di Indonesia. Ini harus dikembangkan," tambah Arief.