TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan keputusan Pengadilan Negeri Lumajang yang membebaskan Herminto, pelaku pencabulan terhadap anak kandung di Lumajang, Jawa Timur, beberapa hari lalu. Pembebasan ini lantaran tak adanya syarat formil dan pelaku tak didampingi kuasa hukum.
“Bebasnya pelaku karena alasan formil menjadi catatan buruk upaya bersama pemerintah dalam menghapus kekerasan seksual,” ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai melalui siaran tertulis, Rabu, 24 Agustus 2016.
LPSK ingin penegakan hukum dilakukan secara cermat sehingga bisa jalan keluar untuk hambatan formil bisa ditemukan, bukan justru menjadi dasar seorang pelaku bebas. Salah satu jalan keluarnya, menurut Abdul Haris, adalah mencarikan pengacara dari pemerintah atau lembaga bantuan hukum (LBH) bagi Herminto.
Dengan tidak adanya kuasa hukum, Abdul Haris melanjutkan, hakim menilai syarat formil kasus ini tidak terpenuhi. “Dalam hukum, terdakwa dengan ancaman hukuman tinggi harus didampingi pengacara,” katanya.
Abdul Haris menambahkan, perlu juga aturan baru yang bisa menguntungkan korban, terutama terkait dengan penolakan terdakwa untuk didampingi yang berujung dengan bebasnya pelaku karena tidak memenuhi syarat formil. Aturan baru tersebut penting agar syarat formil tidak dijadikan alat untuk lepas dari jerat hukum.
Herminto diadili di PN Lumajang atas dakwaan mencabuli anak kandungnya sendiri. Awalnya, dia terancam hukuman 15 tahun penjara. Dengan ancaman hukuman yang tinggi itu, Herminto diharuskan memiliki pendamping kuasa hukum.
Namun, Herminto menolak didampingi pengacara. Atas dasar tersebut, majelis hakim menilai syarat formil dalam kasus ini tak terpenuhi dan hakim memutus Herminto bebas. Atas putusan tersebut, jaksa dari Kejaksaan Negeri Lumajang menyatakan akan melakukan banding.
BAGUS PRASETIYO | DAVID PRIYASIDHARTA