TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mendesak pemerintah membatalkan kenaikan iuran mandiri Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ketua YLKI Tulus Abadi, dalam keterangan tertulisnya, Ahad, 13 Maret 2016, mengatakan seharusnya pemerintah hanya menaikkan iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang menjadi tanggungan negara.
"Seharusnya pemerintah justru berterima kasih kepada peserta BPJS mandiri. Bukan malah mengeskploitasinya dengan menaikkan tarifnya," katanya.
Tulus berujar, berapa pun iuran yang dipatok BPJS, finansial BPJS akan tetap defisit, bahkan jebol apabila belum ada perbaikan fundamental dari sisi hulu. "Yakni memperbaiki perilaku hidup sehat masyarakat dengan tindakan preventif promotif dan mengembalikan distrust masyarakat kepada pelayanan kesehatan tingkat dasar," tuturnya.
Tulus pun meminta pemerintah dan manajemen BPJS untuk tidak beranggapan bahwa masyarakat tidak akan mengeluarkan dana tambahan bagi kesehatan setelah adanya BPJS. "Justru yang terjadi sebaliknya, masyarakat lebih banyak mengeluarkan bujet kesehatan sebagai akibat masih buruknya pelayanan BPJS," ucapnya.
Per 1 April, iuran peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) mengalami kenaikan. Kenaikan tersebut telah diteken dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Dengan terbitnya Perpres itu, besaran iuran bulanan peserta kelas I, yang semula Rp 59.500, naik menjadi Rp 80 ribu. Iuran kelas II, yang semula Rp 42.500, naik menjadi Rp 51 ribu. Sedangkan iuran kelas III, yang semula Rp 25.500, naik menjadi Rp 30 ribu.
Iuran peserta PBI serta penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah juga mengalami kenaikan, dari sebelumnya Rp 19.225 menjadi Rp 23 ribu. Namun kenaikan iuran bagi peserta PBI tersebut sudah berlaku sejak 1 Januari.
ANGELINA ANJAR SAWITRI