TEMPO Interaktif, Pangandaran - Pesawat Cessna C 208B PK-VVE Grand Caravan milik perusahaan Susi Air dilaporkan jatuh di distrik Pasema, Kabupaten Yahukimo, Papua, Jumat 9 September 2011.
Pesawat Jatuh saat dalam penerbangan dari Wamena menuju Kenyam. Pesawat tersebut berangkat dari Wamena sekitar pukul 12.20 WIT dengan mengangkut empat drum solar dan sembako seberat 1.159 kilogram.
Pesawat tersebut dipiloti oleh Dave Cootes, seorang pilot asal Australia, dan kopilot Thomas Munk asal Slovakia. Pesawat tersebut seyogianya tiba di Kenyam sekitar pukul 13.30. Namun hingga waktu yang ditentukan pesawat tersebut tak kunjung tiba.
Sempat dilakukan pencarian oleh pesawat dari perusahaan bersangkutan, hingga ditemukan pesawat tersebut telah jatuh di distrik Paseman.
Pemilik Susi Air, Susi Pudjiastuti, menyebut kecelakaan yang terjadi di Papua tidak ada kaitannya dengan kondisi pesawat. "Pesawat masih dalam keadaan layak dan tergolong baru karena baru dibeli 2007 kemarin," ujar Susi ketika menggelar jumpa pers di kediamannya, Sabtu kemarin.
Dia menjabarkan, pesawat seharga Rp 25 miliar tersebut dilengkapi dengan sistem yang memadai. Pesawat memiliki tombol emergency position yang dapat ditekan oleh pilot dan kopilot sewaktu-waktu dalam kondisi darurat. Saat kecelakaan terjadi, dari hasil pantauan di sistem Blue Sky Susi Air juga tidak ada tanda-tanda emergency dari pilot ataupun kopilot.
Pesawat Caravan tersebut juga di cek secara reguler dan mendapatkan perawatan rutin mesin-mesin sebelum diterbangkan. Meski demikian Susi masih menanti hasil investigasi yang dilakukan secara saksama oleh pihak Susi Air dan KNKT.
Faktor cuaca yang sangat buruk masih diduga sebagai penyebab utama terjadinya kecelakaan pesawat caravan tersebut. Selain faktor cuaca, pihaknya tidak menampik kemungkinan terjadinya human error dalam kecelakaan tersebut.
Faktor human error yang kerap terjadi biasanya adalah kelebihan muatan kargo atau pilot yang kurang pengalaman. Dari sisi pilot, dia menegaskan baik pilot dan kopilot memiliki jam terbang yang cukup banyak, yaitu 1.800 jam untuk pilot dan 900 jam untuk kopilot.
Sementara untuk muatan kargo biasanya awak Susi Air selalu mengecek kembali barang muatan yang diangkut, terutama kuotanya, dihindari agar tidak berlebih. "Kalau lebih bisa dikenai denda sampai Rp 200 juta, dan pilot kami biasanya tidak mau menerbangkan," tuturnya.
Para pelanggan memang terkadang suka memaksa dalam memuat barang yang diangkut. "Karena pikirnya mereka sudah sewa mahal. Jadi dioptimalkan angkutnya."
Namun Susi Air masih belum mau mengarahkan dugaan ke faktor human error. "Mudah-mudahan bukan itu, kita tunggu hasil investigasinya saja," ujar dia.
Susi mengaku kecelakaan tersebut cukup memukul pihaknya. Pasalnya, perusahaan maskapai perintis yang dia mulai sejak tujuh tahun lalu itu selama ini dikenal tidak pernah memiliki masalah dalam penerbangannya. "Semoga ini yang terakhir dan tidak ada lagi," tuturnya.
Namun catatan Tempo ini merupakan kecelakaan kedua dalam sehari. Sebelumnya pesawat Susi Air dari Kisar, Maluku, dengan tujuan Kupang tergelincir di bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat 9 September 2011 sekitar pukul 12.04 WITA, akibat mengalami pecah ban bagian kanan.
Akibatnya, pihak Angkara Pura I menutup sementara Bandara El Tari II Kupang. Penutupan bandara itu juga menyebabkan pesawat Garuda dan Batavia Air dari Denpasar, Bali, ke Kupang harus kembali (diver) ke Bali. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.
GUSTIDHA BUDIARTIE/ RAMIDI