“Meski seringkali heroik memberitakan aksi buruh, di dalam perusahaannya sendiri, wartawan justru tak berdaya ketika ditekan oleh pemilik media,” kata Winuranto Adhi, Koordinator Divisi Serikat Pekerja, AJI Indonesia. Dia menunjuk aksi union busting di stasiun televisi Indosiar dan koran Suara Pembaruan, sebagai dua contoh kasus terbaru. “Wartawan yang aktif menjadi pengurus serikat pekerja di kedua media itu, justru ditekan manajemen, bahkan ada yang sampai dipecat,” kata Winuranto.
Selain union busting, ia melanjutkan, AJI juga mendata sejumlah pelanggaran aturan ketenagakerjaan yang dilakukan media. Salah satu modus yang sering terjadi adalah rekruitmen wartawan di daerah oleh koresponden media nasional, tanpa melalui kontrak resmi dengan perusahaan media. “Jurnalis yang direkrut ini menjadi kontributor lepas, tanpa kontrak dan ikatan kerja yang jelas,” katanya. Di kalangan wartawan, para kontributor ini dikenal dengan sebutan ‘jurnalis tuyul’. “Secara etika jurnalistik, ini juga pelanggaran, karena hak cipta si kontributor diklaim oleh koresponden daerah yang merekrut mereka,” kata Winuranto.
Menanggapi pengaduan itu, Erman berjanji akan segera mengatur pertemuan dengan Serikat Penerbit Suratkabar, Asosiasi Televisi Swasta Nasional Indonesia dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia, sebagai representasi pemilik media. “Saya akui soal perburuhan di sektor media, belum ditata dengan baik,” katanya.
Menteri juga meminta serikat pekerja bisa menjadi kekuatan penyeimbang untuk manajemen dan pemilik media di dalam perusahaan media. “Jangan sampai informasi yang disampaikan media diatur-atur dan dititipi pesan macam-macam oleh pemilik media,” katanya. Wartawan, kata Erman, harus bisa melawan intervensi pemilik media atas informasi yang disampaikan media kepada publik. “Ini penting agar isi media tetap sesuai fungsinya yakni mengawal kepentingan rakyat,” katanya.
WAHYU DHYATMIKA