Sementara itu, Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyoroti kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selama ini. PPDB selama bertahun-tahun selalu mengalami masalah sama. Permasalahan tersebut bahkan terjadi pada semua jalur: zonasi, prestasi, perpindahan orang tua, dan afirmasi. Namun, kata Ubaid, pemerintah belum optimal dalam menyelesaikan masalah yang muncul. “PPDB akan terus bermasalah bila akar masalahnya belum diselesaikan,” kata Ubaid saat dihubungi, Jumat 18 Oktober 2024.
Berdasarkan data JPPI, ada sebanyak 162 laporan masalah PPDB 2024 per Juni 2024. Masalah itu mulai dari tipu-tipu nilai di jalur prestasi sebanyak 42 persen, manipulasi Kartu Keluarga di jalur zonasi sebanyak 21 persen, mutasi sebanyak 7 persen, ketidakpuasan orang tua di jalur afirmasi sebanyak 11 persen, dan dugaan gratifikasi sebanyak 19 persen.
Sementara itu, Ombudsman RI menerima sekitar 467 aduan masyarakat pada 2024. Laporan ini terkait dengan dugaan kecurangan masalah di hampir setiap jalur PPDB: prestasi, zonasi, dan afirmasi.
Dari aduan masyarakat yang diterima Ombudsman, dugaan maladministrasi didominasi penyimpangan prosedur sebesar 51 persen, tidak memberi layanan 13 persen, tidak kompeten 12 persen, diskriminasi sebesar 11 persen, penundaan berlarut sebanyak 7 persen, permintaan imbalan uang, barang dan jasa sebanyak 2 persen, tidak patut sebanyak 2 persen, dan penyalahgunaan wewenang sebanyak 2.
Menurut Ubaid, PPDB memiliki masalah struktural. Ada kekurangan bangku sekolah hampir rata di semua daerah Indonesia. Kekurangan bangku itu membuat orang tua melakukan berbagai macam cara supaya anaknya bisa masuk sekolah.
Masalah PPDB, kata Ubaid, juga disebebkan karena kualitas guru hingga fasilitas tiap sekolah yang berbeda. Perbedaan itu memunculkan pandangan sekolah favorit. Keadaan itu akan membuat orang tua melakukan berbagai upaya untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit. “Makanya banyak orang tua yang memalsukan dokumen supaya bisa masuk sekolah itu,” kata Ubaid.
Ubaid pun mendorong pemerintah mengubah sistem PPDB. Sistem PPDB harus menerapkan sistem adil. Sistem itu tak boleh membeda-bedakan anak.
UKT
Selain masalah PPDB, Ubaid menyoroti kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ubaid mengatakan, hanya 6 persen orang Indonesia yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Penyebabnya, kata Ubaid, pendidikan tinggi sudah menjadi barang mahal. Biaya pendidikan melalui UKT sudah menutup akses itu. “UKT sekarang mahal. Ini artinya, pemerintah belum meletakkan pendidikan sebagai hak warga negara. Sehingga hanya warga tertentu yang bisa menikmati,” kata Ubaid.
Biaya pendidikan yang mahal itu sempat diprotes oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri pada Mei 2024 lalu. Kala itu, sejumlah perguruan tinggi negeri menaikkan biaya UKT calon mahasiswa angkatan 2024. Dasar kenaikan itu Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Unsoed menjadi salah satu kampus yang menaikkan UKT hingga 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Akibat protes itu, Nadiem Makarim, membatalkan kenaikan UKT pada 27 Mei 2024. Ia juga menunda pemberlakuan permendikbudristek 2/2024. Nadiem mengatakan, ada kemungkinan permendikburistek itu akan berlaku pada 2025.
Ubaid mengatakan, akar masalah kenaikan UKT karena kebijakan pemerintah yang memberikan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau PTN BH kepada kampus negeri.
Menurut Ubaid, kampus yang menyandang status itu diberikan otonomi untuk mengelola keuangan. Dengan adanya status itu, perguruan tinggi negeri tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah. Kampus, kata Ubaid, dituntut mandiri mencari sumber dana lain untuk membiayai operasional. Masalahnya, banyak kampus yang tak mendapatkan pendapatan dari bisnis. Untuk menutupi operasional, kampus kemudian menaikkan UKT. “Ini bentuk lepas tangan pemerintah,” kata Ubaid.
Ubaid lantas meminta pemerintah untuk mencabut status PTN BH. Pemerintah, kata Ubaid, harus kembali memberikan subsidi kepada kampus. Sehingga, akses masyarakat untuk bisa kuliah terbuka lebar.
Perundungan
Selain sejumlah masalah itu, pemerintah juga tidak aktif dalam upaya mencegah kekerasan di sekolah. Komisioner KPAI Klaster Pemenuhan Hak Anak Aris Adi Leksono, mengatakan, kasus kekerasan di satuan pendidikan meningkat tiap tahun.
Berdasarkan data KPAI, ada 3.883 aduan pelanggaran hak dan perlindungan anak selama periode 2023. Dari jumlah itu, ada 1.866 kasus yang terdiri dari kasus anak korban kejahatan seksual, anak korban kekerasan fisik dan atau psikis (anak sebagai korban penganiayaan) dan anak berhadapan dengan hukum. Tercatat pula 329 kasus perundungan di satuan pendidikan.
Secara keseluruhan, aduan pelangggaran pada 2023 mengalami penurunan dibandingkan pada 2022 yaitu sebanyak 4.683. Namun, jumlah kasus kekerasan pada 2023 lebih tinggi bila dibandingkan data 2022. Data 2022 mencatat, ada 834 kasus kekerasan seksual dan 429 kasus perundungan di sekolah.
Aris mengatakan, satuan pendidikan belum optimal dalam melakukan pencegahan dan merespons kekerasan terhadap anak. Kemendikbud sebetulnya sudah meminta sekolah membentuk tim Pencegahan Penanganan Kekerasan. Pembentukan tim ini merupakan amanat Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Namun, kata Aris, kerja tim tersebut belum optimal. “Baru sebatas SK (Surat Keputusan),” kata Aris ketika dihubung, Sabtu 19 Oktober 2024.
Menurut Aris, pembentukan tim tersebut belum dibarengi dengan pemberian bimbingan teknis (bimtek) oleh pemerintah. Tim, kata Aris, belum dibekali cara melakukan sosialisasi dan edukasi kepada warga sekolah. Belum ada juga pembekalan dalam penanganan bila terjadi kasus kekerasan.
Padahal, Aris menilai, sekolah ramah anak penting untuk mencapai visi generasi emas 2045. Belum maksimalnya pencegahan kekerasan juga akan terus mempertahankan siklus kekerasan di sekolah. Karena itu, Aris meminta pemerintah untuk membuat program yang bisa menggerakan satuan pendidikan. Program itu harus membuat satuan pendidikan peduli dalam melakukan langkah pencegahan terhadap kekerasan.
“SDM satuan pendidikan harus diberi bekal bagaimana mendeteksi dini potensi anak menjadi korban atau pelaku kekerasan,” kata Aris. “Setelah itu, harus langsung diantisipasi,” lanjut Aris.
Seminggu sebelum tulisan ini diunggah, Tempo sudah mengirimkan surat permohonan wawancara beserta draf wawancara kepada Sekretaris Jenderal Kemendikbud-Ristek, Suharti; Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Iwan Syahril; Kepala Badan Standar Kurikulum Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbud Ristek Anindito Aditomo; dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Abdul Haris. Namun, keempatnya tak merespons permohonan wawancara yang dikirimkan.
Tempo juga sudah menghubungi melalui pesan dan telepon kepada empat orang tersebut. Namun, keempatnya tidak merespons Tempo hingga berita ini diturunkan.
Adapun Anindito sebelumnya mengatakan, keberadaan Kurikulum Merdeka juga dilandasi berbagai regulasi dan kebijakan yang kuat. Itu mulai dari diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 12 Tahun 2024, peraturan yang ada di daerah, bahkan peraturan Presiden.
"Kemudian paling penting manfaat yang sudah dirasakan, ini yang mendorong pemerintah selanjutnya untuk melanjutkan. Karena manfaatnya sudah dirasakan begitu banyak sekolah, anak murid, dan guru," kata Anindito, Maret 2024 lalu.
Pada kesempatan berbeda, Anindito mengatakan, akar masalah PPDB ada dua, yaitu kurang daya tampung sekolah negeri dan ketimpangan kualitas antar sekolah. "Menghapus jalur zonasi bukan menyelesaikan masalah itu," kata Anindito dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Rabu, 10 Juli 2024.
Masalah itu, kata Anindito, dapat diselesaikan dengan menggandeng sekolah swasta untuk meningkatkan daya tampung. Kemendikbudristek juga secara bertahap berupaya menyetarakan kualitas pendidikan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kemendikbhdristek Suharti, mengatakan, penetapan mekanisme jalur zonasi diserahkan kepada masing-masing daerah. Ada daerah yang menggunakan jalur zonasi dengan mempertimbangkan jarak atau wilayah administrasi. Semua itu berdasarkan kesepakatan pemerintah daerah dan sekolah.
"Sementara kami mendampingi supaya mengurangi ada kesalahan," kata Suharti, Maret 2024 lalu.
Perihal masalah UKT, Abdul Haris, sebelumnya mengatakan, penambahan porsi anggaran pendidikan untuk Kemendikbudristek bisa menambah Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Tambahan bantuan itu akan mencegah kampus menaikkan UKT.
"Peningkatan BOPTN tentu berdampak bagi perguruan tinggi tidak menaikkan UKT," kaya Abdul Haris, Sabtu 15 Juni 2024.
Abdul Haris, Kemendikbudristek selama ini hanya mengelola 15 persen dari total anggaran pendidikan. Kementerian pendidikan saat ini sedang mengupayakan untuk menambah porsi itu. Kementerian pendidikan saat ini sedang berdiskusi dengan sejumlah stakeholder.
"Kami diskusi dengan sejumlah stakeholder. Kami berharap porsi Kemendikbudristek bisa ditambah," kata Abdul Haris.
Pilihan Editor: Kemendikbudristek Dipecah, Dosen Unnes: Ada Potensi Hambatan Komunikasi dan Administrasi