TEMPO.CO, Jakarta - Satryo Soemantri Brodjonegoro termasuk tokoh yang dipanggil presiden terpilih Prabowo Subianto, kemarin. Nama Satryo disebut-sebut sebagai salah satu calon menteri yang dipertimbangkan untuk kabinet Prabowo mendatang.
Pertemuan tersebut terjadi di kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta, dan mengindikasikan bahwa Prabowo tertarik pemikiran dan pengalaman Satryo Soemantri Brodjonegoro di bidang pendidikan dan inovasi teknologi di Indonesia.
Sebagai tokoh yang telah lama berkecimpung di dunia pendidikan tinggi, Satryo dikenal dengan dedikasinya dalam memajukan pendidikan di Indonesia, khususnya selama menjabat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti).
Profil Satryo Soemantri Brodjonegoro
Satryo Soemantri Brodjonegoro lahir di Delft, Belanda, pada 5 Januari 1956. Menurut situs ksi-indonesia.org, setelah menamatkan pendidikan teknik mesin, ia meraih gelar Ph.D di bidang teknik mesin dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, pada 1985.
Karier akademiknya dimulai ketika ia bergabung dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai dosen dan peneliti. Satryo dikenal sebagai ilmuwan dengan rekam jejak yang luar biasa dalam menghasilkan karya ilmiah. Hingga saat ini, ia telah menerbitkan lebih dari 100 publikasi ilmiah yang diakui secara internasional.
Selain menjadi akademisi, Satryo juga aktif sebagai Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Anggota Komisi Bidang Ilmu Rekayasa. Peran ini membawanya lebih dekat dengan berbagai kebijakan terkait perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Di kancah internasional, Satryo juga diakui sebagai dosen tamu di Toyohashi University of Technology, Jepang, dan ITB, di mana ia terus berkontribusi dalam bidang teknik mesin dan pendidikan.
Prestasi Satryo Soemantri Brodjonegoro
Selama kariernya, Satryo Soemantri Brodjonegoro telah meraih banyak prestasi, khususnya dalam reformasi pendidikan tinggi di Indonesia. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah saat ia menjabat sebagai Dirjen Dikti sejak 1999 hingga 2007.
Dilansir dari situs Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, di bawah kepemimpinannya, beberapa universitas besar di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), diubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Satryo juga berperan penting dalam pengembangan kurikulum yang lebih sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, serta mendorong kolaborasi antara dunia akademis dan industri. Inisiatifnya bertujuan untuk memastikan lulusan perguruan tinggi Indonesia memiliki kompetensi yang lebih baik dan siap bersaing di kancah internasional.
Selain di bidang pendidikan, Satryo juga terlibat dalam berbagai proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia. Salah satunya adalah keterlibatannya dalam Japan International Cooperation Agency (JICA).
Di sana, ia membantu perencanaan pembangunan gedung fakultas teknik di Universitas Hasanuddin (Unhas), Gowa. Kontribusinya dalam proyek ini menunjukkan komitmen kuatnya terhadap pengembangan pendidikan tinggi dan peningkatan fasilitas akademis di Indonesia.
Pilihan Editor: Siapakah Natalius Pigai? Aktivis HAM yang Digadang-gadang Jadi Menteri Prabowo