TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pidato Paus Fransiskus merupakan teguran halus kepada Indonesia dalam mengelola konflik bersenjata di Papua.
“Misalnya, Paus menyampaikan pesan perdamaian dalam dua dimensi, yaitu persaudaraan universal dan keadilan sosial,” kata Usman kepada Tempo, Kamis, 5 September 2024.
Usman mengatakan dalam kasus Papua, negara mengabaikan dua dimensi pesan Paus ini melalui kebijakan pendekatan keamanan yang militeristik dan kebijakan pembangunan yang tidak ramah sosial dan lingkungan. “Padahal, orang asli Papua juga merupakan saudara,” kata Usman.
Di samping itu, Paus juga menggunakan isu-isu yang menyebabkan terjadinya konflik, kekerasan, dan peperangan. Misalnya, penggunaan narasi historis yg sepihak.
“Narasi historis sepihak inilah yang kita lihat menjadi pola pendekatan Indonesia dalam menghadapi dinamika konflik Papua,” kata Usman.
Dalam pidatonya, Paus Fransiskus mengutip pernyataan Santo Yohanes Paulus II saat berkunjung ke Indpnesia pada 9 Oktober 1989. Paus Fransiskus mengatakan Indonesia mendorong perdamaian dan keadilan dengan mengakui hak-hak manusia, toleransi dan politik semua warga.
"Beliau (Paus Yohanes Paulus II) berkata, dengan mengakui kehadiran keanekaragaman yang sah, dengan mengakui hak-hak manusia dan politik dari semua warga, dan dengan mendorong pertumbuhan persatuan nasional berlandaskan toleransi dan sikap saling menghargai terhadap orang lain, Anda orang Indonesia meletakkan fondasi bagi masyarakat yang adil dan damai yang diinginkan semua warga Indonesia untuk diri sendiri dan rindu untuk diwariskan kepada anak-anak setelahnya," kata Paus Fransiskus.
Operasi militer membuat warga sipil Papua diselimuti kekerasan bersenjata. Sejak 3 Februari 2018 hingga 20 Agustus 2024, Amnesty mencatat 132 kasus pembunuhan di luar hukum yang menewaskan setidaknya 242 warga sipil. Sebagian kasus itu dilakukan oleh aparat keamanan (83 kasus dengan 135 korban) dan sebagian lagi oleh kelompok bersenjata pro-kemerdekaan (49 kasus dengan 107 korban).
Selain warga sipil setempat, korban juga termasuk seorang pilot helikopter asal Selandia Baru, Glen Malcolm Conning, yang dibunuh saat mengangkut empat warga sipil di Distrik Alama, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, pada 5 Agustus 2024.
“Belum jelas siapa yang sesungguhnya membunuh pilot tersebut dan karenanya Amnesty mendesak investigasi penuh atas kejadian itu,” ujar Usman.
Di samping itu, seorang warga negara Selandia Baru lainnya, Phillip Mehrtens, disandera sejak 7 Februari 2023 oleh faksi bersenjata kelompok pro-kemerdekaan Papua. Pada Januari 2019 hingga Februari 2024 terdapat setidaknya 17 kasus penyiksaan atas 50 korban, yang diduga dilakukan oleh anggota aparat keamanan dan aparatur negara di Tanah Papua.
Pilihan editor: Misi Agung Paus Fransiskus ke Indonesia