TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai ada kejanggalan dalam kesimpulan Badan Pusat Statistik ihwal faktor penyumbang terbesar inflasi pada bulan lalu. BPS menyimpulkan biaya pendidikan menjadi penyumbang utama inflasi di Agustus 2024.
“Ini kenyataan aneh. Bagaimana bisa pendidikan dasar yang semestinya wajib dibiayai dan ditanggung oleh pemerintah, malah jadi penyumbang inflasi terbesar?” kata Ubaid melalui keterangan tertulis yang dikutip, Rabu, 4 September 2024.
Pada Agustus 2024, BPS mencatat tren inflasi tertinggi terjadi pada biaya sekolah dasar sebesar 1,59 persen. Tren inflasi berikutnya terjadi pada biaya sekolah menengah pertama sebesar 0,78 persen, lalu biaya akademi atau perguruan tinggi 0,46 persen, serta biaya sekolah menengah atas 0,36 persen.
“Biaya sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan akademi/perguruan tinggi menjadi komoditas utama penyumbang inflasi masing-masing sebesar 0,01 persen," kata Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini saat konferensi pers rilis BPS di Jakarta, Senin lalu.
Ubaid menduga ada beberapa faktor yang membuat biaya pendidikan menjadi penyumbang utama inflasi. Antara lain, keinginan politik pemerintah yang lemah dalam menangani masalah pendidikan. Sebab pemerintah tidak mempunyai peta jalan atau arah pendidikan di Indonesia hingga saat ini.
“Setiap presiden punya agenda baru. Beguti juga, Menteri Pendidikan baru punya program prioritas baru. Ini menyebabkan problem utama soal ketimpangan akses dan kesenjangan kualitas pendidikan menjadi masalah turun-temurun yang tak terselesaikan,” kata dia.
Ubaid mencontohkan, pemerintah terbukti tidak bisa mengelola dana pendidikan dengan baik, tahun lalu. Indikasinya, sebanyak Rp 111 triliun anggaran pendidikan tak terserap. Di samping itu, anggaran pendidikan pemerintah selama ini juga salah sasaran.
“Sebagian besar anggaran pendidikan disunat oleh belanja pegawai, belanja kementerian dan lembaga lain yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan. Tahun depan, anggaran pendidikan juga kembali akan disunat oleh agenda makan bergizi gratis,” ujar Ubaid.
Ubaid juga menyoroti kebijakan komersialisasi dan privatisasi pendidikan. Ia berujar, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kecil juga peran pemerintah. Sementara peran swasta semakin diperbesar di jenjang pendidikan tinggi.
“Karena biaya pendidikan dasar yang masih tinggi, maka masih ditemukan jutaan anak-anak tidak bisa sekolah. Hal ini berdampak pada keberlanjutan anak ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Puncak kesenjangan dan ketimpangan semakin terlihat di jenjang pendidikan tinggi,” kata Ubaid.
Pilihan Editor: Makin Mahal Kuliah di Kampus Negeri