TEMPO.CO, Jakarta - Sejak masuk dalam daftar keajaiban dunia New 7 Wonders Foundation pada 2012, Pulau Komodo menjadi destinasi wisata favorit turis asing. Menurut data Tempo, diperkirakan jumlah pengunjung turis asing mencapai 134.495 wisatawan dan turis domestik mencapai 66.977 wisatawan sejak 2019 dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Banyaknya jumlah wisatawan itu turut berkontribusi terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekira Rp 4.602.517.500 pada 2021. Hal tersebut membuat Taman Nasional Komodo menerima penghargaan penerimaa PNBP tertinggi ke-2 di Indonesia pada tahun yang sama.
Namun, destinasi wisata yang berkelas dunia dan menguntungkan negara itu tidak sebanding lurus dengan kesejahteraan yang diterima masyarakat sekitar Kepulauan Komodo. Salah satunya adalah Desa Pasir Panjang, desa wisata di Kepulauan Komodo Nusa Tenggara Timur yang termasuk Zona Rimba dalam Zonasi Taman Nasional Komodo berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.21/IV-SET/2012.
Tiga jenjang sekolah di tengah destinasi wisata dunia
Desa Pasir Panjang terletak di timur Pulau Rinca. Desa ini berjarak sekira 40 km dari Labuan Bajo dan dapat ditempuh 25 menit menggunakan kapal. Meskipun cukup dekat dengan Labuan Bajo yang sudah memiliki berbagai fasilitas publik sampai bandara, Desa Pasir Panjang hanya memiliki satu aula desa, kantor desa, dan hanya satu puskemas.
Desa ini hanya memiliki tiga sekolah, yakni PAUD, Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Padahal, desa ini memiliki 1.800 penduduk dari 500 kepala Keluarga. “Di Sekolah Dasar, jumlah murid itu ada 170 siswa dan ada 13 guru yang ada di SD,” ujar Kepala Sekolah SDN 1 Pulau Rinca, Muhammad Tayeb kepada Tempo pada Sabtu, 27 Juli 2024.
Tayeb menambahkan bahwa selain keterbatasan guru, materi yang dipelajari siswa di sana hanya berdasarkan buku paket yang diberikan pemerintah. Para siswa jarang sekali mendapatkan materi yang dilakukan dengan alat peraga yang bisa menjadi memotivasi siswa agar terus belajar.
Minimnya fasilitas dan akses sumber bacaan membuat para peserta didik kurang maksimal dalam pembelajaran. Banyak dari mereka yang memutuskan untuk menjadi nelayan atau bekerja sebagai pemandu wisata. Ketika menjadi pemandu wisata pun, mereka tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik, hal yang tentu penting mengingat Kepulauan Komodo menjadi destinasi favorit bagi para turis asing.
“Rata-rata penduduk di sini lulusan SMP. Makannya di sini banyaknya bekerja sebagai nelayan atau pemandu wisata. Pemandu wisata pun kemampuan bahasa Inggrisnya masih kurang. Sangat jarang yang SMA atau berkuliah, itu bisa dihitung jari mungkin satu sampai tiga orang,” ujar Kasmir salah satu mantan Pemandu Wisata Taman Nasional Komodo yang kini memutuskan mengabdi untuk kampungnya kepada Tempo pada Sabtu, 27 Juli 2024.
Dua orang warga Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca, Kepulauan Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT) membawa air menuju desa. foto: Tim KK LBV FSRD ITB.
Ibu Mengambil Air Bersih, Anak Sekolah, dan Komodo yang Berkeliaran
Keterbatasan akses dan fasilitas sekolah serta pendidikan bukanlah satu-satunya masalah. Masalah lain berasal dari masih hidupnya hewan liar dari monyet sampai komodo yang berkeliaran tepat di belakang Desa Pasir Panjang.
“Kemarin ada kejadian tanggul pemisah antara kampung kami dan hutan tempat komodo itu ada yang jebol. Jadi sempat ada komodo masuk ke sekolah. Itu semua siswa dan guru panik berhamburan keluar,” kata Kasmir.
Komodo sebenarnya tidak hanya hidup di Pulau Komodo. Tetapi hidup di beberapa pulau di Kawasan Taman Nasional Komodo. Salah satu yang cukup banyak hidup ada di Pulau Rinca, tempat Desa Pasir Panjang berada.
Ancaman terkaman komodo tidak hanya mengintai anak sekolah, tetapi juga masyarakat yang hendak mengambil air bersih dari sumur yang letaknya ada di tengah-tengah hutan berisi puluhan komodo.
“Alhamdulilahnya belum pernah ada kejadian yang digigit komodo. Karena yang mematikan dari komodo itu kan air liurnya sangat beracun. Tapi yang sebenarnya jadi kendala dari dulu adalah bahwa di desa kami ini kurang sekali air bersih. Itu pun bukan air tawar tapi air payau,” ujar Kuba, Ketua Bumdes Pasir Panjang.
Kuba merasa perhatian Pemerintah hanya pada aspek pariwisata bukan kesejahteraan masyarakat di daerah Taman Nasional Komodo. “Padahal itu kan istilahnya kampung kami, tapi kami tidak mendapatkan apa yang seharusnya kami dapatkan dari kekayaan alam di sekitar kami. Bahkan, kebutuhan mendasar seperti air bersih di kampung kami masih sulit,” tambah Kuba.
Sejatinya sudah ada beberapa instansi termasuk pemerintah yang mencoba membantu menangani berbagai permasalahan di Desa Pasir Panjang itu. Namun, masalah air, pendidikan literasi, sampai cara berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris masih menjadi masalah utama yang belum terentaskan.
Kelompok dosen ITB gelar pelatihan bagi masyarakat Desa Pasir Panjang
Melihat hal ini, Institut Teknologi Bandung (ITB) yang diwakili Kelompok Keahlian Literasi Budaya Visual Fakultas Seni Rupa dan Desain (KK LBV FSRD) dan Kelompok Keahlian Fisika dan Teknologi Material Maju FMIPA turun untuk memberikan pelatihan bagi masyarakat di sana.
Tim Pengabdian Masyarakat (Pengmas) ini terdiri dari sejumlah dosen dan mahasiswa yang berasal dari FSRD dan satu guru besar dari FMIPA. Anggotanya terdiri dari Fatimah Arofiati Noor, Yani Suryani, Dana Waskita, Tri Sulistyaningtyas, Acep Iwan Saidi, Untari Gunta Pertawi, Evi Azizah Vebriyanti, Sira Kamila, dan Yulia Mifftah Huljanah.
“Setelah melakukan kegiatan di Desa Pasir Panjang, kami berencana akan menjadikan desa tersebut sebagai Desa Binaan. Nantinya kami akan bekerja sama dengan fakultas lain, terutama untuk menangani masalah mendasar di Desa Pasir Panjang, yakni air bersih,” kata Yani Suyani dan Dana Waskita selaku Koordinator Tim Pengabdian Masyarakat Pelatihan Komunikasi di Desa Pasir Panjang, Kepulauan Komodo dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Sabtu, 27 Juli 2024.
Pelatihan tersebut terdiri dari dua kegiatan. Pertama, mengenai panduan komunikasi menggunakan bahasa Inggris dan promosi wisata melalui media sosial bagi pemandu wisata di Desa Pasir Panjang. Kedua, praktik eksperimen literasi sains menggunakan alat peraga untuk memotivasi anak SDN 1 Pulau Rinca.
Kepala Desa Pasir Panjang, Nurdin merasa terharu dan terhormat sudah didatangi ITB untuk turut membantu mengatasi permasalahan yang terjadi di Desa Pasir Panjang melalui program pengabdian masyarakat.
“Ini pertama kalinya ada kampus sebesar ITB yang mau mendatangi kami dan berbagi ilmu. Suatu kebanggaan bagi kami. Semoga kerja sama ini akan terus berlanjut, karena dari pemerintah sendiri belum ada bantuan yang berarti. Padahal Pulau Komodo sudah kelas dunia dan mendatangkan berbagai manfaat bagi negara. Tapi kami masih kesulitan dan mengalami berbagai permasalahan,” ujar Nurdin.
Pilihan Editor: Taman Nasional Komodo Tutup Berkala 2025 Pelancong akan Diarahkan Mengunjungi Desa Wisata