TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan mendesak Presiden Joko Widodo alias Jokowi agar menarik seluruh pasukan TNI-Polri non-organik di Papua. Desakan penarikan pasukan itu mengemuka setelah insiden penembakan tiga warga sipil oleh militer Indonesia di Distrik Mulia, Puncak Jaya, Papua Tengah pada 16 Juli lalu.
"Kami mendesak Presiden Jokowi menarik seluruh pasukan TNI-Polri non-organik di Papua yang tidak dibuat berdasarkan kebijakan politik negara," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, lewat keterangan tertulis atas nama koalisi, Selasa, 23 Juli 2024.
Koalisi masyarakat sipil ini terdiri atas Imparsial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), YLBHI, Amnesty Internasional Indonesia, Setara Institute, dan sejumlah lembaga nonpemerintah lainnya. Sesuai catatan koalisi masyarakat sipil, terdapat 1.837 personel keamanan yang diterjunkan ke Papua sejak Januari hingga Juli 2024. Mereka terdiri atas 100 personel berasal dari Kepolisian Republik Indonesia dan 1.737 dari TNI.
Isnur menilai banyaknya jumlah personel TNI yang diturunkan itu berbanding lurus dengan jumlah konflik di Papua. Mereka mencatat 24 peristiwa kekerasan sepanjang awal hingga pertengahan tahun ini. Kekerasan itu mengakibatkan 12 orang meninggal, 22 korban luka, dan 95 orang ditangkap aparat keamanan.
Insiden terbaru adalah penembakan terhadap tiga warga sipil di Puncak Jaya, Selasa pekan lalu. Personel Satuan Tugas Batalion Infantri RK 753/AVT menembak mati tiga orang yang diduga dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Puncak Jaya. Pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) membantahnya. Mereka menyebut korban penembakan itu adalah warga sipil. Versi TPNPB-OPM, ketiganya adalah Kepala Desa Kalome Distrik Mepogolok, Tonda Wanimbo; Kepala Desa Dokkome, Pemerintah Murib; serta seorang warga sipil bernama Dominus Enumbi.
Adapun versi TNI, ketiga orang itu merupakan kelompok bersenjata dengan pimpinan Teranus Enumbi. TNI menyebut ketiga korban yang meninggal berinisial SW (33 tahun), YW (41 tahun), dan DW (36 tahun). Adapun Teranus Enumbi melarikan diri saat penembakan.
Kepala Penerangan Komando Daerah Militer Cendrawasih XVII Letnan Kolonel Infantri Candra Kurniawan mengatakan pihaknya selalu menjunjung tinggi penegakan hukum dalam menindak kelompok OPM. Ia mengatakan penembakan terhadap kelompok kriminal bersenjata itu berdasarkan informasi dan bukti-bukti yang dimiliki.
"Dalam proses penindakan OPM telah berdasarkan informasi, keterangan, data, dan bukti-bukti," kata Candra, Sabtu, 20 Juli 2024.
Ia menjelaskan, insiden penembakan itu bermula saat satgas mendeteksi keberadaan OPM yang memasuki pemukiman, salah satunya Teranus Enumbi, buron tindak pidana penyerangan aparat keamanan pada 2018. "Teranus Enumbi bersama beberapa orang lainnya memasuki pemukiman di kampung Karubate, Distrik Muara dengan membawa senjata api," kata dia.
Satgas lantas menuju ke lokasi. Selanjutnya, kata Candra, kelompok OPM melakukan perlawanan dengan mengeluarkan tembakan ke arah prajurit TNI. "Sehingga prajurit TNI melumpuhkan dan menembak gerombolan tersebut," katanya.
Insiden penembakan ini memicu amarah warga Distrik Mulia, Puncak Jaya. Mereka berunjuk rasa di sana hingga berujung anarkistis pada Kamis pekan lalu. Kerusuhan itu mengakibatkan seorang warga bernama Abdullah Jaelani (30 tahun) meninggal akibat terkena benda tajam. Empat orang lainnya terluka, satu di antaranya adalah Komandan Batalion 753/AVT Mayor Inf Novald Dermawan. Ia terkena lemparan batu di bagian kepala.
Muhammad Isnur menilai peristiwa penembakan terhadap tiga orang sipil tersebut merupakan ekses buruk dari pendekatan keamanan dalam menangani konflik Papua. "Akhirnya berimplikasi pada meluasnya eskalasi konflik, yang dalam berbagai kasus berujung pada kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia," kata Isnur.
Menurut Isnur, pendekatan keamanan tidak akan bisa menjawab akar permasalahan di Papua. Pendekatan keamanan justru akan membuat suasana di masyarakat selalu mencekam.
Koalisi masyarakat sipil juga mendesak agar Presiden Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat mengevaluasi total pendekatan keamanan di Papua. Mereka menyarankan agar pemerintah lebih mengedepankan pendekatan dialog setara dalam menyelesaikan konflik Papua.
Pilihan Editor: Konflik di Papua Makin Membara