TEMPO.CO, Jakarta -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengkritik lemahnya pemerintah sebagai otoritas sipil dalam mengawasi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berbisnis. Usman menengarai pemerintah tak akan mampu mengubah praktik tersebut, tapi justru menormalisasinya.
"Enggak bisa diubah oleh pemerintah, oleh otoritas sipil. Hal yang akhirnya terjadi, ya, sudahlah kita bolehkan saja lah," ujar Usman seusai pertemuan nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Jakarta Pusat, Kamis, 18 Juli 2024. "Apalagi dengan booming industri ekstraktif, dari mulai tambang batu bara, tambang emas, tambang nikel, dan tambang lainnya."
Menurut Usman, pelarangan TNI berbisnis pada akhirnya hanya menunjukkan sikap pemerintah yang tak kuasa menghentikan aktivitas tersebut. Buktinya, kata dia, TNI leluasa memperdagangkan jasanya sebagai juru pengaman di banyak lahan milik swasta. Praktik bisnis itu tetap berjalan meski ada larangan. "Lihat saja kalau di Jakarta, tanah ini berada dalam pengawasan Kodam Jaya dengan PT swasta," ujar Usman mencontohkan.
Dalam proses Revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI, mengemuka usulan untuk menghapus Pasal 39 huruf c. Ketentuan ini mengatur pelarangan TNI melakukan kegiatan bisnis. Namun, tidak ada rincian yang dimaksud dengan “bisnis” tersebut.
Usulan penghapusan pasal itu diutarakan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro dalam forum "Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri". Acara ini diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Juli 2024.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi I DPR bidang Keamanan, Tubagus Hasanuddin, mengkritik usulan penghapusan larangan anggota TNI berbisnis. Politikus PDI Perjuangan itu khawatir penghapusan tersebut akan membuat bisnis TNI merembet ke berbagai usaha lain. "Usulan itu tidak ada dalam draf," kata Hasanuddin pada Selasa, 16 Juli 2024.
Selain penghapusan pasal larangan berbisnis, RUU TNI juga akan menggodok perubahan dua pasal, yaitu Pasal 47 dan 53. Muatan Pasal 47 memperluas wewenang prajurit TNI untuk aktif di jabatan sipil. Sementara Pasal 53 mengatur penambahan usia pensiun prajurit TNI hingga 65 tahun.
Usman Hamid menegaskan RUU TNI sangat berbahaya karena akan menghidupkan kembali era Orde Baru. "Kalau disahkan, dia akan membentangkan spanduk politik "Selamat Datang Kembali Orde Baru"," ujar Usman.
Pilihan Editor: