TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mikewati Vera Tangka, mengatakan bantuan sosial (bansos) adalah mandat konstitusi yang bertujuan mensejahterakan kehidupan masyarakat. "Jadi, ketika calon presiden-calon presiden itu berkampanye, harus aspirasi yang diangkat. Bagaimana memperbaiki bansosnya," kata Vera dalam diskusi di gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Jalan M.H. Thamrin, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad, 7 Januari 2024.
Menurut Vera, bansos menjadi sebuah sistem perlindungan sosial. "Yang tidak semrawut, tidak salah target, yang tidak korupsi. Ini yang seharusnya menjadi bagian kampanye para kandidat, baik capres maupun calegnya," ujar Vera dalam diskusi bertajuk "Waspada Tsunami Politisasi Bansos pada Pemilu 2024" itu.
Baca Juga:
Ia mengingatkan agar bansos jangan dijadikan sebagai ancaman sehingga masyarakat yang menerima bantuan pemerintah itu menjadi takut. "Jadi kami terima aja karena ada penekanan seperti itu. Nama kami dicatat, kami tidak tahu dicatat untuk apa," kata Vera menceritakan temuan di lapangan pada saat mendampingi kelompok perempuan.
Kelompok perempuan itu termasuk para penerima bansos. Menurut Vera, masyarakat yang menerima bansos itu sempat takut saat menerima bansos. Sebab penerima bansos itu mengahafal petugas yang biasa membagikan bantuan tersebut. "Kami lebih bingung lagi bansos ini dari jurusan mana," kata Vera, menirukan cerita warga penerima bansos.
Menurut Vera, masyarakat tersebut mengenal betul petugas yang biasa bekerja untuk membagikan bansos. Vera menyatakan justru bansos yang dikucurkan sejak akhir Desember 2023 hingga saat ini dibagikan oleh orang yang berbeda. "Justru dibagikan oleh tim-tim pemenangan, bukan tim yang sudah ditunjuk Kementerian Sosial," kata dia.
Vera mengatakan sudah tercantum dalam undang-undang bahwa siapa yang menggunakan bansos sebagai bagian dari kampanye, itu mempunyai konsekuensi pidana. "Menurut saya pemilu ini sangat crowded, ya. Dan ini sangat parah karena bansos digunakan untuk (tujuan kampanye) ini," ujar dia.
Bahayanya, kata dia, bansos yang dikucurkan akan tersalurkan tidak tepat sasaran. Alasannya, menurut temuan KIP, pembagian itu tidak terkoordinasi. Para pembagi bansos itu, kata dia, tidak meminta daftar penerima bansos kepada petugas kelurahan, melainkan kelompok masyarakat atau simpul direkrut tim pemenangan. Sehingga tidak bisa dipastikan sejauh mana bansos yang digelontorkan selama kampanye itu tepat sasaran.
Menurut Vera, dugaan politisasi bansos tidak hanya terjadi pada saat pemilu. Pengelolaan bansos secara keliru sudah berlangsung sebelum pemilu.
Dia menceritakan beberapa kasus selama pendampingan kelompok perempuan di daerah Kalibata, Jakarta Selatan, dua hari lalu. Masyarakat setempat diberikan bansos, tapi dengan menyetorkan kartu tanda penduduk untuk difoto. "Dan mereka disuruh memotret, nanti di TPS coblos yang ini, dan itu harus jadi bukti," katanya.
Dalam kasus lain, ada juga warga yang menerima bantuan sosial yang di dalamnya tertuang foto calon legislatif. Vera enggan membuka nama calon legislatif itu. "Enggak usah saya bilang dari partai apa," tutur dia.
Sebelumnya, wacana pembagian bansos sempat direspons Kepala Staf Presiden Moeldoko, setelah muncul dugaan politisasi bansos menjelang pemilihan presiden atau Pilpres 2024. Moeldoko menjelaskan program bantuan beras kepada masyarakat miskin itu jauh sebelum Gibran menjadi calon wakil presiden.
Pembagian bansos itu ditengarai, kata Moeldoko, karena harga beras melonjak. Sehingga Presiden Joko Widodo atau Jokowi perlu mendistribusikan bantuan kepada masyarakat miskin. "Jadi kalau ada hubungan dengan pemilu, mungkin setelah Februari berhenti. Buktinya berjalan terus," kata Moeldoko saat ditemui di Kompleks Istana, Jakarta, pada Rabu, 3 Januari 2024.
Pilihan Editor: Jokowi dan Zulhas Bahas Kampanye PAN hingga Strategi Pemenangan Pilpres