Cara bicara laki-laki berkacamata itu juga kalem. Itulah Cak Nur, seorang doktor studi Islam, dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sempat menjadi Rektor Universitas Paramadina Mulya.
Karier intelektualnya, sebagai pemikir Muslim, dimulai pada masa menjadi mahasiswa di IAIN Jakarta, Cak Nur aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI dianggap sebagai gerakan kaum modernis yang cenderung dekat dengan Masyumi.
Karier organisasi Cak Nur dimulai dari komisariat HMI, pada puncaknya terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1966-1969) dan (1969-1971).
Dilatarbelakangi aktivitasnya yang sangat intens di HMI, tidak heran kalau pada tahun 1967-1969, Nurcholis Madjid terpilih sebagai presiden PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara). Saat beliau menjabat Presiden PEMIAT, Malaysia berhasil ditarik sebagai salah satu anggota organisasi Islam regional tersebut, dan ketika itu pulalah beliau pertama kalinya berkesempatan pergi keluar negeri, yaitu ke Malaysia.
Pada tahun 1968, dalam kapasitasnya sebagai ketua umum PB HMI, Nurcholis Madjid berkunjung ke Amerika Serikat untuk memenuhi undangan program “Profesional Muda dan Tokoh Masyarakat”, dari pemerintah Amerika Serikat.
Pemikiran Cak Nur di era 1966-1968 yang cenderung mencurigai Barat, melalui gagasan modernisasi dan westernisasi yang banyak diperkenalkan oleh kaum intelektual “sekuler” pada awal orde baru memperoleh respons yang negatif dari Cak Nur.
Pada tahun 1969, Nurcholis Madjid membuat risalah ideologis yang monumental yang diberi nama Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. NDP berisi pedoman ideologis bagi kader HMI yang hingga kini jadi acuan pergerakan dan pemikiran organisasi yang melahirkan banyak pemimpin di Indonesia.
RINDI ARISKA
Baca: PDI Perjuangan Juga Dukung Nurcholis Madjid Jadi Pahlawan