TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan sejumlah catatan terkait Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Catatan ini disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR dalam surat tertanggal 18 November 2020.
Selain Komisi I, Komisi III memang diminta pendapat lantaran beleid ini akan bersinggungan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Penanganan terorisme selama ini merupakan ranah Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang merupakan mitra Komisi III DPR.
Baca juga:
Tempo mendapatkan salinan pandangan Komisi III yang menyoroti sejumlah pasal dalam rancangan Perpres tersebut. Ketua Komisi III Herman Herry dan Wakil Ketua Komisi III Desmond J. Mahesa membenarkan dokumen tersebut.
"Ya," kata Desmond, yang meneken surat berisi pandangan ini, saat dihubungi lewat pesan singkat, Senin, 30 November 2020.
Dalam pandangannya, Komisi III menyampaikan bahwa pelibatan TNI diperlukan dalam upaya memberantas kejahatan terorisme, tetapi pelaksanaannya membutuhkan payung hukum yang jelas dan komprehensif sesuai maksud dan tujuan Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Komisi III meminta pemerintah hati-hati dalam menetapkan Perpres pelibatan TNI ini. Komisi III menyebutkan Perpres ini akan mengatur ketentuan tentang mekanisme penggunaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap tugas TNI dalam lingkup UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Mengingatkan kembali bahwa pada prinsipnya sebuah peraturan presiden sebagai delegasi undang-undang tidak mengatur norma baru, sehingga diperlukan kehati-hatian," kata Desmond dikutip dari surat tersebut.
Komisi III pun mengingatkan sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelibatan TNI atau pengerahan kekuatan militer dilakukan oleh Presiden dan harus mendapat persetujuan DPR RI, yakni merupakan kebijakan dan politik negara. Adapun secara rinci, berikut 8 catatan Komisi III beserta catatannya.
1. Pasal 1 ayat (1) terkait definisi
-Definisi 'aksi terorisme' dinilai belum menunjukkan perbedaan aksi terorisme dengan tindak pidana terorisme atau terorisme sehingga belum mampu menjelaskan keadaan dan situasi peran TNI. sebagaimana diatur dalam Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018
-'Aksi terorisme' seharusnya dipahami sebagai tindakan nyata yang menimbulkan suasana teror yang meluas dan melampaui kemampuan Kepolisian.
-Frasa 'atau dengan eskalasi tinggi' diusulkan diubah menjadi 'bereskalasi tinggi'.
2. Pasal 2 ayat (2) terkait tugas TNI dalam aksi terorisme
-Peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme pada prinsipnya hanya melakukan penindakan sebagaimana Pasal 2 ayat (2) huruf b rancangan perpres dan berkoordinasi dengan BNPT. Adapun tugas lainnya meliputi penangkalan dan pemulihan adalah kegiatan yang menjadi kewenangan BNPT sesuai UU Nomor 5 Tahun 2018.
-Hal yang menjadi kekhawatiran karena kegiatan penangkalan memiliki ruang lingkup luas, sehingga dapat diartikan sebagai kegiatan pencegahan yang tentu berbeda pendekatan dengan pola militer atau penindakan.
-Perlu adanya pengaturan lebih rinci dengan batasan-batasan yang jelas bahwa telah timbul ancaman yang nyata dan membutuhkan pola pendekatan militer, yakni sudah di luar kemampuan dari Kepolisian, agar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.