TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP pada 24 September 2019. DPR ngotot mengesahkan RUU ini meski pasal-pasalnya masih banyak dikritik.
Ketua DPR Bambang Soesatyo, misalnya, mengatakan saat ini pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP diproses, dan akan tetap menuntaskan di ujung periode DPR 2014-2019.
“Terus melakukan pembahasan-pembahasan. Di ujung periode kami ini agar kita bisa tuntaskan,” kata dia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 29 Agustus 2019.
Begitu pula dengan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, yang mengakui ada beberapa poin dalam RKUHP masih menuai kritik. Namun, kata dia, masyarakat yang tidak puas dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
“Nanti kan terbuka karena kita sudah punya MK. Berbeda dengan dulu,” kata dia, di kantornya, kemarin.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat setidaknya ada 13 poin yang bermasalah dalam RKUHP pada draft 28 Agustus 2019. Berikut daftarnya:
1. Pasal 2 ayat (1), Pasal 598 RKUHP, soal hukum yang hidup di masyarakat
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-undang ini.”
Menurut ICJR pasal yang mengatur hukum yang hidup dalam masyarakat ini mengandung penyimpangan asas legalitas dan kriminalisasi yang tidak jelas. Pasal ini dapat menimbulkan kesewenangan aparat karena frasa hukum yang hidup di masyarakat multitafsir.
2. Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 RKUHP, soal hukuman mati
ICJR menilai hukuman mati seharusnya dihapuskan sesuai dengan perkembangan bahwa 2/3 negara di dunia sudah mengahapuskan hukuman mati. Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati harus merupakan hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim.
3. Pasal 167 RKUHP draft 28 Agustus 2019 soal pengaturan makar
Definisinya menurut mereka tidak sesuai dengan asal kata makar yaitu “aanslag” yang artinya serangan. “RKUHP cenderung mendefenisikan makar menjadi pasal karet yang dpaat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat,” dikutip dari keterangan tertulis Direktur Program ICJR, Erasmus Napitupulu, Jumat 30 Agustus 2019.
4. Pasal 281-282 RKUHP yang memuat masalah kriminalisasi tindak pidana contempt of court
Pasal ini dinilai memuat rumusan karet berpotensi mengekang kebebasan berpendapat termasuk kebebasan pers.
5. Pasal 440-449 RKUHP soal pengaturan tindak pidana penghinaan
Pasal ini mereka nilai sebagai pasal karet. Seharusnya, kata mereka, ada pengecualian seperti untuk kepentingan umum, karena terpaksa membela diri, tidak ada kerugian yang nyata, pernyataan yang disampaikan secara emosional, pernyataan tersebut disampaikan kepada penegak hukum, pernyataan tersebut dilakukan dalam koridor pelaksanan profesi yang dilakukan sesuai kode etik profesi, pernyataan tersebut tidak dilakukan di depan umum atau merupakan korespondensi secara pribadi, pernyataan yang disampaikan adalah kebenaraan
6. Masalah hadirnya kembali pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis, seperti:
Pasal 218, Pasal 219 RKUHP, soal penghinaan presiden. Pasal 240-241 RKUHP soal penghinaan pemerintah yang sah. Pasal 353-354 RKUHP soal penghinaan Kekuasaan Umum/ Lembaga Negara.
Pasal-pasal ini menurut ICJR selain tak relevan untuk masyarakat demoratis, juga karena sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
7. Pasal 304 RKUHP tentang Tindak Pidana terhadap Agama
Mereka menilai pidana ini harus dihapuskan. Karena jauh dari standar Pasal 20 ICCPR yang mengatur konteks pelarangan propaganda kebencian, dan hanya melindungi agama yang dianut di Indonesia.
8. Pasal 417 ayat (1) tentang kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan di luar perkawinan
Negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga Negara yang bersifat privat.
9. Pasal 414-415 RKUHP draft 28 Agustus 2019 soal mempertunjukkan alat pencegah kehamilan
Kontraproduktif dengan Upaya Penanggulangan HIV. ICJR memaparkan kondom cara paling efektif pencegah penyebaran HIV dan sudah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN (1995):
10. Pasal 470 s.d 472 RKUHP draft 28 Agustus 2019 tentang Kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran
Ada Pengeculian hanya untuk dokter yang melakukan aborsi. Bertentangan dengan Pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI No 4 tahun 2005, serta diskriminatif terhadap perempuan. Karena ada beberapa kasus di mana korban perkosaan yang melakukan aborsi kemudian dikriminalisasi akan terus terjadi.
11. Pasal 611-616 RKUHP soal tindak pidana narkotika
Pendekatan Pidana tidak terbukti efektif:Penanganan narkotika memerlukan komitmen yang berkelanjutan antara pemerintah dan berbagai sektor untuk menyeimbangkan antara supply dan demand, serta mengontrol agar peredaran gelap narkotika diminimalisir.
12. Pasal 604-607 RKUHP soal tindak pidana korupsi
RKUHP tidak mengadopsi pengaturan khusus yang ada dalam UU Tipikor, khususnya pasal 15 mengenai percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang akan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana tindak pidana korupsi yang bersangkutan selesai dilakukan (delik penuh). Dalam RKUHP saat ini, tidak mengenal pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
13. Pasal 599-600 RKUHP Soal tindak pidana pelanggaran HAM yang berat
Asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat tidak diatur didalam buku 1 RKUHP. Akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000. Lalu, menurut ICJR, masuknya frasa Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif.