TEMPO Interaktif,
Jakarta:Lembaga non-pemerintah di bidang pemantauan hak azasi manusia, Imparsial, setuju dengan usulan Departemen Pertahanan yang tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional bahwa jabatan Panglima TNI dan Kepala Kepolisian diangkat langsung oleh Presiden.Imparsial beralasan bahwa selama ini para calon panglima dan Kapolri cenderung terseret dalam arus politik karena merasa harus melobi partai-partai politik agar bisa lolos. "Ini tidak sehat," ujar Direktur Eksekutif Imparsial Rachland S. Nashidik, ketika dihubungi, Minggu (4/2).Menurutnya, representasi publik dalam pemilihan dua jabatan penting itu tidak harus lewat persetujuan parlemen. Presiden yang sudah dilipih langsung oleh rakyat, kata Rachland, sudah cukup menjadi representasi publik. "Legitimasi orang yang diangkat menjadi panglima dan kapolri tidak akan berkurang kalau DPR tidak dilibatkan," ia menjelaskan.Cara seperti ini, kata Rachland, juga bisa meminimalisasi perilaku partai politik yang menjadikan dua jabatan itu sebagai komoditas bagi kepentingan mereka. "Ketika Partai Golkar dan PDI Perjuangan, misalnya, punya calon berbeda, di situlah kepentingan politik dua partai ini masuk ke TNI dan Polri," ujarnya.Draft Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang telah selesai disusun Departemen Pertahanan pada 18 Januari lalu, pasal 38 ayat 3 dan pasal 39 ayat 2 menyebutkan, pengangkatan dan pemberhentian Panglima dan Kapolri adalah hak preogatif Presiden. Ketentuan dalam pengangkatan dua jabatan ini kemudian hanya diatur dalam Peraturan Presiden.Anggota DPR dari Komisi Pertahanan bereaksi atas isi draf ini. “Itu jelas tidak bisa, karena bertentangan dengan Undang-undang TNI dan Kepolisian RI,” kata politikus dari PDI Perjuangan Permadi, pekan lalu. Menurut dia, pengangkatan panglima harus lewat
fit and proper test Komisi Pertahanan DPR.Anggota Komisi Pertahanan lainnya, Slamet Effendi Yusuf, juga tak setuju dengan adanya pasal teknis pengangkatan Panglima TNI dan Kepala Polri itu. Menurut dia kalau isinya bertentangan dengan semangat reformasi, DPR akan menolak draf itu. "Sebaiknya draf itu dimatangkan lagi," ujar politikus dari Partai Golkar ini.Hal senada disampaikan anggota Komisi Pertahanan lainnya, A.M. Fatwa. Menurut dia, persetujuan DPR dalam pengangkatan dua jabatan penting itu masih diperlukan, sepanjang dua intitusi itu belum mereformasi dirinya dengan tuntas. "Zaman Orde Baru, dua intitusi ini menjadi penopang utama kekuasaan. Kami ingin yang seperti itu dinetralisasi dengan cara penganigkatan dua pejabat ini harus lewat DPR," ujar politikus dari Partai Amanat Nasional ini.Ketua tim perumus RUU Keamanan Nasional, Mayor Jenderal TNI Dadi Susanto mengatakan, aturan pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI tanpa harus melalui persetujuan DPR yang diusulkan dalam rancangan itu dengan pertimbangan di masa depan, TNI harus betul-betul profesional dan tidak lagi berpolitik.Dengan masih melalui mekanisme persetujuan DPR seperti saat ini, menurut Dadi, sama saja masih membawa TNI untuk berpolitik. “Dengan pertimbangan tentara profesional yang tidak lagi berpolitik, seharusnya diimbangi tidak ada lagi proses politik, prosesnya harus profesional,” ujar Dadi kepada Tempo, Senin lalu.Selain itu, dalam draf ini, pada bagian Kelima tentang Penyelenggara Pertahanan Negara, pasal 29 ayat 4 menyatakan, dalam menghadapi ancamana militer dari negara lain dan berdasarkan pertimbangan ruang dan waktu memerlukan penanganan segera, maka Tentara Nasional Indonesia dapat mengambil langkah-langkah penanganan darurat secara terbatas dan terukur.Pada ayat 5 pasal yang sama kemudian dijelaskan, dalam hal Tentara Nasional Indonesia telah mengambil langkah-langkah darurat sebagaimana dimaksud pada ayat 4, maka panglima sesegera mungkin, selambat-lambatnya dalam waktu 1X24 jam melapor kepada presiden. "TNI hanya bisa bergerak atas seizin otoritas politik tertinggi yakni Presiden, kecuali dalam keadaan bencana," ujar Rachland.
Raden Rachmadi