Ini Tiga Kawasan Sasaran Perdagangan Manusia
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat tnr
Jumat, 1 September 2017 02:27 WIB
TEMPO.CO, YOGYAKARTA - Perwakilan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dari Indonesia Dinna Wisnu menengarai ada tiga kawasan yang menjadi sasaran pelaku perdagangan manusia. Tiga daerah itu meliputi daerah miskin, daerah wisata, dan daerah perbatasan.
“Jadi Yogyakarta juga sasaran perdagangan manusia. Karena menjadi jujugan turis,” kata Dinna dalam diskusi publik bertema “The Politics of Producing Human Right: Menelusuri Pendekatan HAM dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di ASEAN” di Ruang Seminar Timur Fakultas Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis, 31 Agustus 2017.
Perpindahan orang ke luar dan masuk banyak berlangsung di daerah wisata. Praktik prostitusi pun berkembang di sana. Sementara daerah miskin menjadi sasaran karena orang kesulitan mencari alternatif pekerjaan yang lebih baik. Sedangkan pengawasan di daerah perbatasan cenderung lemah sehingga orang mudah berpindah.
“Juga terjadi di daerah yang penegakan hukumnya lemah, pejabatnya korup, mudah disuap, dan melakukan pembiaran,” kata Dinna.
Sedangkan korban terbesar adalah perempuan yang mencapai 51 persen dengan bentuk kekerasan seksual. Menurut Dinna, perempuan korban kekerasan seksual menjadi mudah terstigmatisasi sehingga acapkali rentan dieksploitasi ulang. Semisal, stigma sebagai perempuan yang ternoda sehingga malu untuk kembali pulang kepada keluarganya. Akhirnya, perempuan korban seolah tidak mempunyai pilihan lain selain kembali dieksploitasi.
“Jadi perempuan korban mengalami double victims,” kata Dinna.
Dosen Sosiologi UGM Frans Vicky Djalong menilai selama ini yang sering dibahas adalah tentang kejahatan pelakunya. Namun jarang dibahas tentang mengapa orang bisa menjadi korban.
“Kalau dibahas, jawabannya adalah itu tanggung jawab negara,” kata Frans.
Sejauh ini, AICHR berupaya menyusun prosedur penanganan korban perdagangan manusia melalui pendekatan hak asasi manusia yang berperspektif korban. Meliputi larangan melakukan pembiaran terhadap korban. Melakukan identifikasi terhadap setiap korban secara detil.
“Kami tengah mengusahakan bagaimana membuat pendataan tunggal dan sistematis se-ASEAN,” kata Dinna.
Kemudian membangun support system terhadap korban dan melakukan antisipasi tindakan balas dendam terhadap korban selaku penyintas. Setiap korban berhak untuk dilindungi identitasnya, hidup normal, dan pendampingan hukum.
“Termasuk menyediakan penterjemah bagi korban di negara lain maupun yang difabel,” kata Dinna.
Korban tidak langsung dideportasi. Selama berada di tempat penampungan dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, antara anak-anak dan dewasa.
PITO AGUSTIN RUDIANA