Istri dari Almarhum Munir, Suciwati (kiri) bersama Koordinator KontraS Haris Azhar (kanan) memberi pernyataan sikap terkait putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) bahwa dokumen Hasil Penyelidikan TPF Munir merupakan informasi publik dan pemerintah wajib mengumumkan dokumen tersebut kepada masyarakat di kantor KontraS, Jakarta, 18 Februari 2017. ANTARA/Rosa Panggabean
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) masih menunggu kejelasan sengketa pembukaan informasi tim pencari fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir. Sejak diajukan ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung pada 7 Maret 2017, hingga kini belum ada perkembangan yang signifikan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011 mengatakan majelis hakim Mahkamah Agung harus memutus 60 hari setelah majelis hakim dibentuk. "Sebulan lalu kami dapat informasi bahwa memori kasasi dan kontra kasasi dari setneg sudah diterima MA, tapi tidak ada informasi apakah majelis hakim sudah dibentuk. Ini yang sedang kami tunggu," kata Kepala Bidang Advokasi Putri Kanesia di Sudirman FX, Jakarta, Minggu, 28 Mei 2017.
Leletnya pemerintah menyelesaikan perkara Munir adalah alasan Kontras mengajukan gugatan pembukaan informasi TPF Munir ke Komisi Informasi Publik. Gugatan itu berisi permintaan kepada Kementerian Sekretariat Negara untuk segera mengumumkan hasil penyelidikan kasus Munir kepada masyarakat. (Baca:PTUN Anulir Putusan KIP Munir, KY Utamakan Laporan Kontras)
Sengketa yang diputus pada 10 Oktober 2016 itu memenangkan gugatan Kontras. Namun putusan itu dianulir Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 2016 dengan menyatakan dokumen TPF Munir tidak dikuasai Kementerian Sekretariat Negara dan tidak ada kewajiban bagi Kementerian Sekretariat Negara mencari dokumen itu.
Putusan itu dianggap tak masuk akal. Sebab, Kementerian Sekretariat Negara punya kewajiban menyimpan dokumen TPF. "Kenapa kami tidak menggugat Presiden Jokowi atau SBY, karena yang menyimpan dokumen adalah Mensesneg, bukan TPF," ujar Putri.
Selain itu, PTUN dianggap menyalahi aturan karena menutup proses persidangan. Selama sidang, kata Putri, baik Kontras maupun pihak Kementerian Sekretariat Negara tak pernah dipanggil majelis hakim untuk mengikuti sidang. Padahal semestinya majelis hakim memanggil kedua belah pihak untuk memperkuat bukti. (Baca:Suciwati Desak Komisi Yudisial Periksa Hakim PTUN)
"Kami tidak pernah diberi kabar, tahu-tahu dapat surat tanggal 16 Februari, oke, silakan hadir karena putusan akan dibacakan," kata Putri.
Ia pun menyesalkan putusan PTUN yang menolak gugatan Kontras yang meminta dokumen TPF Munir dibuka ke publik dengan alasan Kementerian Sekretariat Negara tidak memiliki dokumen itu.
Padahal, kata Putri, beberapa hari setelah putusan KIP, mantan Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, sudah memberikan salinan laporan TPF ke Presiden. Namun Kementerian Sekretariat Negara malah mengajukan keberatan atas putusan KIP dengan alasan tidak memiliki dokumen TPF. "Padahal dokumennya ada. Ini satu tanda tanya buat kami," katanya.
Putri menilai upaya hukum yang dilakukan pemerintah adalah bukti negara telah bertindak sewenang-wenang dan mengabaikan aturan hukum. "Bagaimana bisa dokumen penting kenegaraan, seperti hasil penyelidikan TPF KMM, dinyatakan hilang dan tidak dikuasai negara?" ujarnya. (Baca:Kasum Desak Jokowi Bentuk Tim Pencari Fakta Baru Kasus Munir)