TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika mengimbau seluruh pihak untuk segera melakukan tindakan pencegahan terhadap ancaman malware, khususnya Ransomware jenis WannaCry. Hal itu sehubungan dengan serangan hacker masif di 99 negara yang terjadi menjelang akhir pekan ini dan disebut menggunakan program yang dikembangkan National Security Agency (NSA).
"Serangan siber ini bersifat tersebar dan masif serta menyerang critical resource (sumber daya sangat penting), maka serangan ini bisa dikategorikan teroris siber," ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Sammy Pangarepan, saat dihubungi Tempo, Sabtu, 13 Mei 2017.
Sammy menuturkan fenomena serangan siber itu telah terjadi juga di Indonesia. Berdasarkan laporan yang diterima Kominfo, serangan ditujuman ke Rumah Sakit Harapan Kita dan Rumah Sakit Dharmais. Dia pun meminta masyarakat tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan dalam berinteraksi di dunia siber.
Sammy mengatakan serangan siber yang menyerang Indonesia berjenis ransomware, yang merupakan jenis malicious software atau malware yang menyerang komputer korban dengan cara mengunci komputer korban atau mengenkripsi semua file yang ada sehingga tidak bisa diakses kembali.
"Tahun ini sebuah jenis ransomware baru telah muncul dan diperkirakan bisa memakan banyak korban," katanya. Ransomware baru itu disebut Wannacry yang mengincar PC berbasis windows yang memiliki kelemahan terkait fungsi SMB yang dijalankan di komputer tersebut. Sammy menambahkan serangan Wannacry saat ini diduga sudah memakan banyak korban ke berbagai negara.
Program komputer malware tersebut mengunci ribuan komputer di banyak negara dan menyandera data mereka dengan tebusan sekitar US$ 300, atau sekitar Rp 4 juta, yang harus dibayarkan melalui Bitcoin.
Seperti dilansir laman berita BBC, program ini dicuri dari NSA oleh kelompok hacker The Shadow Brokers pada April lalu. Kelompok tersebut mengklaim telah menyebarluaskannya secara online.
Sekitar 99 negara dilaporkan diserang malware yang juga dikenal dengan WannaCry ini. Di antaranya, Inggris, Amerika Serikat, Cina, Rusia, Spanyol, dan Italia. Perusahaan keamaan siber, Avast, mencatat ada 75 ribu kasus ini di seluruh dunia, terutama komputer berbasis sistem operasi Windows. "Ini sangat massif," kata Jakub Kroustek dari Avast.