Memori Banding Ahok Persoalkan Pelapor dan Saksi
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Jumat, 12 Mei 2017 08:37 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -- Kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tengah menyusun memori banding yang akan disampaikan ke Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta. Menurut Tommy Sihotang, salah satu pengacara Ahok, isi memori banding hampir sama dengan pleidoi yang disampaikan Ahok pada April 2017 lalu.
Tommy mencontohkan salah satu yang dipersoalkan ihwal keputusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memvonis Ahok bersalah berdasarkan keterangan pelapor dan saksi yang tidak berada di lokasi (Kepulauan Seribu). “Hakim telah memaksakan bahwa saksi dan pelapor yang tidak ada di lokasi seolah-olah menjadi saksi fakta,” kata Tommy, Kamis 11 Mei 2017. “Yang melapor itu dari Lampung dan Tapanuli Selatan. Tidak ada yang di lokasi.” (Baca: 3 Hakim yang Vonis Ahok 2 Tahun Penjara Dapat Promosi)
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Ahok bersalah dalam perkara penistaan agama. Hakim menilai Ahok melanggar Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman kurungan 2 tahun penjara. Dalam pertimbangannya, hakim menganggap perbuatan Ahok telah menimbulkan keresahan dan mencederai umat Islam.
Perkara ini bermula dari omongan Ahok di Kepulauan Seribu pada September 2016. Ketika itu, Ahok berpidato di hadapan penduduk. Di tengah pidatonya, terselip ucapan dia yang menyitir Surat Al-Maidah. Ucapan itu kemudian dilaporkan ke polisi. Setelah berproses panjang di pengadilan, majelis hakim memvonis Ahok bersalah dan langsung dipenjara. (Baca: Buntut Vonis Ahok, Ketua PSI Minta Pasal Penodaan Agama Dihapus)
Keputusan Ahok yang dipenjara ini diprotes kuasa hukum. Menurut Tommy, keputusan hakim menahan Ahok terlalu berlebihan. Lagi pula, kata dia, “Hakim tidak berwenang menahan karena sudah ketok palu. Hakim tidak boleh memerintah lagi.”
Tommy menjelaskan, perintah penahanan mengacu pada Pasal 197, 193, dan 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal 21 aturan itu, Tommy mengatakan terdakwa ditahan di antaranya agar tak melarikan diri, juga menghilangkan barang bukti. “Bagaimana mau melarikan diri? Ahok kan masih gubernur? Barang bukti juga sudah di pengadilan,” kata Tommy.
Pengacara Ahok lainnya, Sirra Prayuna, menduga hakim memutuskan menahan Ahok karena terpengaruh tekanan massa. “Majelis hakim cenderung terpengaruh tekanan politik,” kata Sirra. (Baca: Kasus Ahok Picu Reaksi Internasional, Menteri Yasonna Merespons)
Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Hasoloan Sianturi, menyangkal tuduhan Sirra. “Keputusan sudah berdasarkan fakta-fakta hukum,” ujar dia.
Begitu divonis bersalah pada Selasa 9 Mei 2017, Ahok langsung digiring ke Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Ahok kemudian dipindahkan ke Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil di Depok, Jawa Barat, Rabu. “Alasannya keamanan,” ujar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. (Baca: Goenawan Mohamad Siap Jadi Penjamin Penangguhan Penahanan Ahok)
Yasonna juga menyebut Ahok dipindah karena kurangnya kapasitas penjara di Cipinang. Menurut dia, rutan kelas I itu sudah kelebihan penghuni, sampai 3.000 orang. Tak hanya itu, kondisi lalu lintas di Cipinang pun menjadi faktor pertimbangan pemindahan. “Potensi ganggu lalu lintas karena banyak yang demo,” kata Yasonna.
Meski sudah pindah ke Depok, banyak relawan yang datang menjenguk Ahok. Ketua Garda Pembela NKRI, Yudho Widowo, meminta Ahok dibebaskan. Menurut dia, Ahok semestinya diperlakukan menjadi tahanan kota saja. “Akan ada 10 ribu orang yang datang ke sini untuk meminta Ahok dibebaskan,” ucap dia. (Baca: Menteri Yasonna Ungkap Alasan Ahok Dipindah ke Mako Brimob)
AVIT HIDAYAT | YOHANES PASKALIS | INGE KLARA SAFITRI | IMAM HAMDI | ERWAN HERMAWAN