Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan) dan Juru bicara KPK Febri Diansyah memberikan keterangan tentang penetapan tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI di Gedung KPK, Jakarta, 25 April 2017. KPK menetapkan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril, mengapresiasi langkah KPK menetapkan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Tumenggung, sebagai tersangka korupsi pemberian surat keterangan lunas terhadap utang Sjamsul Nursalim, obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Oce menuturkan kasus BLBI merupakan kasus yang rumit. Sebab, sejak tahun 2000-an hingga kini, kasus ini masih diusut lembaga hukum. Jangka waktu itu menggambarkan betapa rumitnya kasus tersebut. "Diduga, memang banyak hambatan teknis dalam penyelidikan."
Menurut Oce, banyak yang perlu disiapkan KPK agar penetapan status tersangka terhadap Syafruddin bisa berlanjut sampai pengadilan. "KPK harus yakin kasus yang diangkat bisa sampai pengadilan." Simak: Kasus Korupsi BLBI, KPK: Kerugian Negara Sebesar Rp 3,7 Triliun
Selain itu, aspek politik berpotensi mengganggu penyelidikan yang sedang dilakukan KPK. Aspek politik, ujar Oce, utamanya disebabkan oleh banyaknya nama-nama besar yang diduga tersangkut kasus ini, dari pebisnis sampai politikus yang saat ini menjabat posisi penting. "Ada kekhawatiran ini memberikan tekanan politik kepada KPK, tapi ini bukan yang pertama kali KPK alami," tuturnya.
Adapun Syafruddin diduga memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi dengan menyalahgunakan jabatannya sehingga negara merugi Rp 3,75 triliun.
Nilai kerugian tersebut merupakan sisa piutang negara dalam penyaluran BLBI kepada PT Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang tak diperhitungkan ketika Syafruddin menetapkan seluruh utang Sjamsul lunas pada April 2004.