Ketua Koperasi Jadi Tersangka Pungli Pelabuhan Samarinda
Editor
Setiawan
Jumat, 7 April 2017 02:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Reserse Kriminal menetapkan Ketua Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat Samudera Sejahtera (Komura) Jaffar Abdul Gaffar sebagai tersangka dalam kasus dugaan pungutan liar di Pelabuhan Peti Kemas di Samarinda, Kalimantan Timur.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal Agung Setya mengatakan Jaffar disangka sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pungutan tenaga kerja bongkar-muat kontainer di Terminal Peti Kemas Palaran Samarinda yang sudah menggunakan crane dan mesin. Dia diduga memungut biaya di luar container handling charge.
Baca: OTT Pungli di Samarinda, Ketua Komura Jelaskan Soal ...
Namun Jaffar belum diperiksa sejak ditetapkan sebagai tersangka. "Yang bersangkutan tidak hadir memenuhi panggilan," kata Agung melalui pesan WhatsApp, Kamis, 6 April 2017. Polisi telah menetapkan beberapa orang tersangka dalam kasus ini.
Jaffar pernah menggelar konferensi pers guna mengklarifikasi soal berita operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan polisi di pelabuhan peti kemas itu. Operasi tangkap tangan tersebut terjadi pada Jumat, 17 Maret 2017. Jaffar menjelaskan soal uang Rp 6,1 miliar yang disita polisi dalam OTT itu.
Menurut Jaffar, uang itu bukanlah hasil pungutan liar, tapi dana operasional untuk membayar upah buruh. Ia membantah jika uang tersebut adalah hasil pungli.
"Kalau langsung dikategorikan bagian dari money laundry, korupsi, atau suap, saya belum bisa katakan ada bagian dari itu. Sebab, apa yang saya lakukan selama ini adalah aturan," ujarnya dalam jumpa pers di Akmani Hotel, Jakarta Pusat, Minggu, 19 Maret 2017.
Baca: Pungli Pelabuhan, 1.270 Buruh Komura yang Bubar Kini ...
Jaffar menjelaskan, sebelum mempekerjakan buruh, biasanya Komura membayar panjar 30 persen dari jumlah upah kepada buruh itu. Uang itu berasal dari perusahaan atau kapal yang meminta tenaga buruh untuk bongkar-muat.
Uang yang diambil polisi itu, kata dia, berada di kas kantor Komura. "Kebetulan habis mencairkan dana dari bank," ucapnya. "Uang itu baru diambil (dicairkan), tahu-tahu ada penggerebekan dan tidak langsung menanyakan masalah apa."
Dia menuturkan uang itu untuk membayar gaji buruh yang akan mengambil upah, baik buruh yang akan bekerja maupun yang sudah bekerja. Soal kabar biaya upah terlalu tinggi, Jaffar mengatakan hal itu sesuai dengan kesepakatan berdasarkan peraturan Menteri Perhubungan. Berdasarkan peraturan tersebut, Jaffar melanjutkan, ongkos pemuatan pelabuhan dan ongkos tujuan ke pelabuhan lain harus memenuhi WHIK. W, kata Jaffar, adalah upah tenaga kerja, H kesejahteraan, I asuransi, dan K registrasi.
"Itu komponen yang kami bahas dan disepakati semua pihak, termasuk pemilik barang, asosiasi perusahaan bongkar-muat dengan tenaga kerja koperasi, dan difasilitasi tiga pembina," ujarnya. Tiga pembina itu di antaranya, pihak syahbandar, dinas tenaga kerja, dan dinas koperasi. Menurut Jaffar, upah buruh di berbagai daerah tidak bisa dibandingkan. Dia mengatakan, jika upah buruh dianggap tinggi, kenapa tidak dibicarakan.
"Kalau terindikasi macam-macam, ya, silakan diproses, tapi jangan divonis kalau kami melakukan satu kesalahan yang berkaitan dengan namanya pemerasan. Ini saya belum terima," katanya waktu itu.
REZKI ALVIONITASARI