Karang ratusan tahun yang patah akibat kandasnya Kapal MV Caledonian Sky berbendera Bahama di perairan Raja Ampat, Papua Barat, 4 Maret 2017. Kandasnya Kapal MV Caledonian Sky telah memusnahkan setidaknya delapan genus terumbu karang berusia ratusan tahun. ANTARA FOTO
TEMPO.CO, Jakarta - Hingga saat ini, pemerintah belum menentukan langkah hukum dan langkah diplomatik terkait dengan kerusakan terumbu karang di Raja Ampat, Papua. Pemerintah masih mengumpulkan data-data untuk menentukan langkah menghadapi masalah itu.
"Langkahnya bergantung pada sejauh mana data-data itu ada," kata Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir kepada wartawan di kompleks Istana Wakil Presiden, Jumat, 17 Maret 2017.
Caledonian Sky berbendera Bahama dengan bobot 4.200 GT yang dinakhodai Kapten Keith Michael Taylor memasuki Raja Ampat pada 3 Maret 2017. Kapal yang membawa 102 turis dan 79 anak buah kapal (ABK) itu mengelilingi Pulau Waigeo untuk mengamati keanekaragaman burung serta menikmati pementasan seni. Penumpang kembali ke kapal pada 4 Maret 2017.
Kapal pesiar itu kemudian melanjutkan perjalanan ke Bitung pada pukul 12.41. Dalam perjalanan, Caledonian Sky kandas di atas sekumpulan terumbu karang. Saat kandas, sebuah kapal penarik (tug boat) TB Audreyrob Tanjung Priok tiba di lokasi untuk mengeluarkan kapal pesiar itu. Namun upaya tersebut tidak berhasil karena Caledonian Sky terlalu berat. Kapten terus berupaya menjalankan kapal Caledonian Sky hingga akhirnya berhasil kembali berlayar pada pukul 23.15 WIT.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, kerusakan terumbu karang yang ditabrak kapal asal Inggris itu mencapai 13.522 meter persegi. Pemerintah sedang mengkaji berbagai opsi untuk menindaklanjuti masalah ini. Salah satunya mempersiapkan gugatan ganti rugi terhadap perusahaan pemilik kapal itu.
Data diperlukan untuk menentukan siapa subyek hukum dari perkara tersebut. Jika subyek hukumnya perusahaan, pemerintah akan menindaklanjutinya ke perwakilan perusahaan. Sedangkan jika subyek hukumnya adalah negara, Kementerian Luar Negeri akan melakukan kontak dengan kedutaan atau perwakilan terkait.
Acuan hukumnya, ujar Fachir, pemerintah akan menggunakan UNCLOS, acuan hukum internasional untuk perkara-perkara di daerah perairan. "Untuk pengadilannya bisa menggunakan International Tribunal for The Law of the Sea."