Eko Prasojo Nilai Revisi UU ASN Merupakan Langkah Mundur
Editor
Kukuh S Wibowo Surabaya
Selasa, 7 Februari 2017 17:48 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi sorotan karena akan membuka kembali rekrutmen tenaga honorer, penghapusan sistem seleksi jabatan secara terbuka serta pelemahan kedudukan Komisi Aparatur Negara.
"Merupakan langkah mundur," kata Presiden Indonesian Association for Public Administration Eko Prasojo saat seminar bertajuk "Revisi UU ASN: Perlukah?" di Gedung Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa, 7 Februari 2017.
Baca: Soal Napi Sukamiskin, Inspektorat Periksa Berkas Izin Keluar
Menurut Eko rekrutmen tenaga honorer akan mengasilkan aparatur sipil negara yang tidak kompeten. Penghapusan sistem seleksi jabatan secara terbuka juga akan menciptakan birokrasi yang kolutif, koruptif dan nepotisme dalam pengangkatan. Begitu juga dengan penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara akan memberikan peluang terjadinya intervensi terhadap birokrasi oleh kalangan politikus.
Komisi Aparatur Sipil Negara melaporkan adanya transaksi dalam pengisian jabatan di seluruh Indonesia. Angkanya sangat mencengangkan, yakni mencapai Rp 35 triliun.
Pengisian jabatan di sejumlah instansi, ujar Eko, masih diwarnai dengan jual-beli posisi. Gampangnya, jika seseorang ingin menjabat di suatu kedudukan, maka ia harus bayar. "Baik ke atasannya atau justru ke kepala daerah," katanya.
Simak: Panglima TNI Mengeluh, Menhan: Jangan Diungkit-ungkit Lagi
Contoh yang masih hangat ialah kasus Bupati Klaten Sri Hartini yang tertangkap tangan kasus jual beli jabatan. Apabila revisi Undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara itu bertujuan untuk menghapus seleksi terbuka, Eko khawatir justru semakin memperburuk kondisi birokrasi.
"Kalau Komisi Aparatur Sipil Negara dihapus, kita sedang menghapus sistem yang mengawasi. Diawasi saja banyak pelanggaraan apalagi tidak diawasi," kata Eko yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Bikrokrasi.
Seminar juga dihadiri oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo. Agus berujar birokrasi merupakan mesin untuk menggerakkan negara. "Birokrasi itu merupakan mesin negara harus di-review secara menyeluruh, tidak sepotong-potong," kata Agus.
Lihat: Panitia Mahasiswa Jambore Akui Datang ke Rumah SBY, tapi...
Agus mengibaratkan aparatur sipil negara sebagai kendaraan yang ada mesinnya. Jika harus turun mesin dan harus ada yang diganti, maka harus ada transisi dan dipersiapkan secara terencana. Karena tujuannya, kata Agus, untuk mewujudkan sumber daya manusia yang prifesional dan kompeten.
Agus mencontohkan soal tumpang tindihnya birokrasi dalam suatu urusan di sektor kelautan. Sektor tersebut diurusi oleh banyak instansi, antara lain Badan Keamanan Laut (Bakamla), Polisi Air dan Udara, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Agus juga menyoroti peran inspektorat yang tak maksimal. Menurut Agus inspektorat seharusnya bertanggungjawab kepada presiden, bukan kepada menteri, gubernur dan bupati/wali kota. "Itu mengakibatkan tidak ada satupun laporan masuk ke KPK dari Inspektorat. Sebagian besar laporan justru dari masyarakat," kata dia.
MUH SYAIFULLAH