Aksi tolak reklamasi Teluk Benoa, Desa Adat Sumerta, Denpasar, Bali, 31 Juli 2016. TEMPO/Bram Setiawan
TEMPO.CO, Denpasar - Kepolisian Daerah Bali membatalkan penahanan I Gusti Putu Dharma Wijaya, 20 tahun, aktivis gerakan tolak reklamasi yang menjadi tersangka kasus pelecehan simbol negara. Pembatalan itu menyusul adanya jaminan dari Pasubayan (Perkumpulan) Desa Adat dan sejumlah tokoh.
"Kami akan terus mengawal kasus ini bersama tim pengacara untuk pemeriksaan selanjutnya agar tetap sesuai dengan semangat penegakan hukum," kata Ketua Pasubayan Desa Adat Wayan Suarsa, Kamis, 8 September 2016.
Wayan, yang juga merupakan Bendesa (Kepala) Desa Kuta, termasuk penjamin bersama Bendesa Desa Adat Sanur, Buduk, dan Denpasar serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali, Anak Agung Adhi Ardhana.
Dharma Wijaya dilepaskan penyidik Polda Bali setelah menjalani pemeriksaan lebih dari lima jam atas dugaan pelanggaran Pasal 24 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pelecehan Simbol Negara.
Kejadian itu diduga dilakukan saat aksi massa tolak reklamasi digelar pada 25 Agustus lalu di gedung DPRD Bali. Saat itu sempat dilakukan pengibaran bendera Merah Putih bersama bendera ForBali.
Wijaya sendiri membantah melakukan pelecehan itu. Ia juga merasa kecewa karena dibawa ke Polda Bali saat sedang bekerja di hotel di Kuta. "Itu membuat saya shock," ujarnya sesaat setelah dilepaskan.
Menurut pengacara Wijaya, Made Ariel Suardana, penangkapan kliennya itu tidak melalui prosedur yang sepatutnya karena tanpa menunjukkan surat resmi dan dilakukan saat hari raya Galungan.
Ariel menegaskan, saat kejadian, tidak terjadi pelecehan simbol negara karena bendera Merah Putih tetap dikibarkan sebagaimana mestinya. “Tidak ada perbuatan merusak, merobek, atau tindakan lain yang merendahkan bendera tersebut,” tuturnya.
Dia juga menjamin Wijaya akan hadir dalam pemeriksaan berikutnya bila polisi masih membutuhkan keterangannya.