Puluhan orang tua korban vaksi palsu bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, menggelar aksi damai, di Rumah Sakit Harapan Bunda, Jakarta Timur, 20 Juli 2016. Dalam aksi damai ini mereka mendesak pihak RS. Harapan Bunda bertanggung jawab atas penyebaran, pembiaran dan pemberian vaksin palsu terhadap anak-anak yang menjadi korban dan menuntut segera melakukan vaksinasi ulang. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta mendesak Kementerian Kesehatan memberikan ringkasan rekam medis pasien vaksin palsu kepada keluarga korban. Menurut dia, ringkasan rekam medis yang disimpan pihak rumah sakit adalah hak pasien yang harus diberikan, tanpa harus diminta.
“Dari ringkasan rekam medis itu, kita bisa tahu vaksin apa yang diberikan dan kapan vaksin itu diberikan,” kata Marius di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, di Jakarta, Sabtu, 13 Agustus 2016.
Ia mengatakan ringkasan rekam medis yang disimpan rumah sakit bisa diperlihatkan apabila keluarga pasien ingin melihat. “Kalau ringkasan rekam medis bisa dibawa pulang.”
Pada 17 Juli 2016, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menolak membuka rekam medis untuk publik. Tanggapan ini menyusul adanya permintaan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia agar rekam medis korban vaksin palsu dibuka untuk umum. "Rekam medis itu sebenarnya sesuatu yang sifatnya rahasia, tidak secara awam," kata Nila.
Nila beralasan rekam medis boleh dibuka untuk kepentingan penyidikan dan kepentingan kementeriannya. Penyidik perlu melihat rekam medis untuk menelusuri nama obat yang diberikan kepada pasien. Nila khawatir Kementerian akan kehilangan data yang diperlukan penyidik apabila dokumen itu diberikan kepada publik.
Hari ini, Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu mendesak pemerintah membuka penyelesaian kasus vaksin palsu. Mereka menuntut tanggung jawab pemerintah dan korporasi. Marius menjelaskan, penyelesaian kasus tak semestinya membuat keluarga korban bingung. Ia mencontohkan hak kepemilikan ringkasan rekam medis yang menjadi milik pasien. Hal inilah, kata Marius, yang tidak dilakukan rumah sakit. “Sekarang ujug-ujug minta agar di-general check up.”
Pada Juli 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa vaksin pertama untuk mencegah demam berdarah tersedia untuk masyarakat di seluruh dunia yang berusia 9 sampai 60 tahun. Ini berita baik bagi Indonesia, tempat demam berdarah mempengaruhi lebih dari 120 ribu orang dengan beban biaya US$ 323 juta (sekitar Rp 4,3 triliun) setiap tahun.