Jenazah terpidana mati narkoba asal Nigeria Michael Titus Igweh Bin Echere Paulezimoha di semayamkan di rumah duka Bandengan, Teluk Gong, Jakarta, 29 Juli 2016. Hanya empat terpidana mati yang dieksekusi. Dua terpidana mati di antaranya akan disemayamkan di Jakarta sebelum dipulangkan ke negara asal mereka. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hapus Hukuman Mati (Hati) melaporkan Jaksa Agung M. Prasetyo ke Komisi Kejaksaan terkait dengan pelanggaran yang dilakukan dalam eksekusi mati jilid tiga pada 29 Juli 2016.
Muhammad Afif, perwakilan LBH Masyarakat, mengatakan ada beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan dalam tahapan eksekusi mati.
Salah satunya tahapan eksekusi mati terpidana Humprey Jefferson. Afif mengatakan LBH Masyarakat, kuasa hukum Jefferson, telah mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo, 25 Juli 2016, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ia berujar, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Pasal itu mengatur pembatasan pengajuan grasi paling lama setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
"Berdasarkan putusan MK, Jeff masih memiliki hak pengajuan grasi," katanya di kantor Komisi Kejaksaan, Jalan Rambai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu, 10 Agustus 2016.
Menurut Afif, Kejaksaan Agung seharusnya tidak bisa mengeksekusi Jeff. Sebab, belum ada putusan dari Presiden terkait dengan permohonan grasinya.
Afif juga mempertanyakan waktu eksekusi mati yang dilakukan Jumat dinihari itu. Menurut dia, kliennya mendapatkan notifikasi eksekusi pada Selasa, 26 Juli 2016, pukul 15.00 WIB. "Merujuk peraturan 3 x 24 jam, seharusnya eksekusi dilakukan paling cepat Jumat sore hari," ujarnya.
Ketua Komisi Kejaksaan Sumarno menerima langsung laporan dari koalisi masyarakat tersebut. "Apa yang disampaikan akan ditindaklanjuti dan kami kaji bersama dengan komisioner lainnya. Laporan kami terima," ucapnya.