Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fahri Hamzah, menjawab pertanyaan awak media terkait pemberhentian dirinya dari keanggotaan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 4 April 2016. Dalam keterangannya Fahri Hamzah menyatakan tidak menerima pemecatan tersebut. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Presidium Nasional Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Fitra Arsil mengatakan Fahri Hamzah, yang belum lama ini dipecat PKS, adalah aset yang harus dilindungi. Menurut Arsil, Fahri adalah aset bangsa yang mesti dijaga citranya.
"Karena itu, hal-hal yang merusak ketokohannya dan kepemimpinannya harus dihindari," kata Arsil saat konferensi pers Deklarasi Keluarga Alumni KAMMI di Hotel Oasis, Senin, Jakarta, Ahad, 24 April 2016.
Arsil menambahkan, untuk menjaga citra ketokohan Fahri, harus dihindari proses yang terjadi secara emosional. Semua pihak yang terlibat dalam polemik Fahri Hamzah harus mendukung dan menghargai proses di pengadilan.
Fahri Hamzah adalah mantan Ketua Umum KAMMI periode 1998-1999. Saat ini Fahri tengah menggugat pemecatannya dari Partai Keadilan Sejahtera.
Dalam orasinya di hadapan kader KAMMI, Fahri menilai apa yang terjadi padanya suatu malpraktek demokrasi. Menurut dia, demokrasi menjaga hak-hak tiap warga negaranya, sehingga tidak dapat diperlakukan semena-mena.
Fahri dipecat dari keanggotaan PKS berdasarkan surat keputusan bernomor 463/SKEP/DPP-PKS/1437 pada 1 April 2016. Ia dianggap melanggar ketertiban partai. Dalam keterangan di laman resmi www.pks.or.id, dijelaskan ada beberapa kesalahan Fahri.
Pertama, ia menyebut anggota DPR "rada-rada bloon". Sikapnya ini membuatnya dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Kedua, dengan mengatasnamakan DPR, ia setuju membubarkan KPK. Ketiga, tanpa arahan partai, ia menyatakan pasang badan atas tujuh proyek DPR.
Fahri menyindir pihak yang menolak revisi Undang-Undang KPK sok pahlawan, padahal partainya menolak. Kesalahan lain, menurut PKS, adalah ia beranggapan nilai kenaikan tunjangan DPR kurang, dan terakhir, ia membela Setya Novanto dalam kasus "Papa Minta Saham."