Harry Azhar (kiri) dan Sapto Amal saat diambil sumpah menjadi Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di gedung Sekretariat Mahkamah Agung, 28 Oktober 2014. TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Hukum dan Politik Indonesia Budget Center Roy Salam mengatakan, masuknya nama kepala Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar dalam Panama Papers harus digunakan sebagai momentum perubahan di tubuh lembaga tersebut. Saat ini Roy menilai proses seleksi pimpinan BPK penuh dengan pengaruh politik.
Roy menilai BPK yang seharunya mengaudit kementerian dan lembaga lain, tetapi justru diisi oleh politisi. "Sudah sejak 2012, 40 persen pimpinan BPK diisi oleh politisi," kata Roy di Jakarta Selatan, Ahad 24 April 2016.
Hal ini pun berlaku pada kasus Ketua BPK Harry Azhar. Sebelum menjabat Ketua BPK, Harry merupakan anggota Komisi XI yang justru mengawasi BPK. Komisi ini pula lah yang menyeleksi pimpinan BPK.
Harry tercatat sebagai Wakil Ketua Komisi XI pada periode 2009-2014. Kemudian pada Oktober 2014 ia diangkat menjadi Ketua BPK. Menurut Roy, untuk menjaga independensi BPK, seharusnya diberikan jeda waktu bagi para pejabat untuk bisa mendaftar sebagai pimpinan BPK. "Minimal diberi batas waktu beberapa tahun, baru boleh mendaftar lagi. Jangan sampai diisi oleh orang-orang job seeker," ujar dia.
Desakan mundur kepada ketua BPK terus disuarakan oleh aktivis dan mayarakat. Pasalnya, nama Harry yang seharusnya mengaudit keuangan justru masuk ke dalam daftar Panama Papers. Ia tercatat memiliki perusahaan cangkang di British Virgin Island. Perusahaan ini tidak pernah tercatat dalam LHKPN Harry. Padahal LHKPN terakhir tercatat pada 2012, namun perusahaan yang didirikan tahun 2010 itu justru tidak terdaftar.