HARI KARTINI, Pingitan yang Merenggut Masa Kecil
Editor
Yudono Yanuar Akhmadi
Kamis, 21 April 2016 06:00 WIB
Perlahan Kartini menyadari keputusasaan dan tangisannya tiada berguna. Belakangan dia bersyukur karena pingitan tak menjadi penghalang untuk meneruskan kegemarannya sedari kecil: membaca. Di dalam ”kurungan”, dia melahap habis buku-buku modern kiriman RM Panji Sosrokartono, kakak kandungnya yang “lebih beruntung” karena dapat melanjutkan sekolah di HBS Semarang hingga Universitas Leiden, Belanda.
Kartini juga memanfaatkan kotak bacaan (leestrommel) langganan ayahnya, yang berisi buku, koran, dan majalah dari dalam dan luar negeri. Bacaan-bacaan bertema sosial, politik, hingga sastra itu membantu Kartini menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini. Tanpa sadar segala bacaan itu telah mendidiknya--yang selama ini seakan-akan menjadi perempuan muda Jawa yang terbuang dari pendidikan--untuk berjuang mendobrak tradisi yang menindas kaum perempuan.
Pada tahun keempat menjalani pingitan, nasib Kartini sedikit membaik. Dua kakaknya yang menentang gagasan perlawanannya pergi dari rumah. Slamet Sosroningrat meninggalkan Jepara dan RA Soelastri dipersunting Patih Kendal Raden Ngabei Tjokroadisosro. Kartini memanfaatkan kepergian mereka untuk berkumpul dengan Roekmini dan Kardinah--yang juga sedang dipingit--di kamar peninggalan Soelastri.
Kepada kedua adiknya, Kartini mulai menerapkan gagasannya tentang persamaan derajat. Dia membebaskan mereka dari tradisi unggah-ungguh berlebihan. Sebelumnya, sang adik tak boleh mendahuluinya kecuali dengan merangkak di tanah. Kini sang adik bebas mendahuluinya saat berjalan.
Alhasil, ketiganya bersukacita dalam pergaulan tanpa kekakuan yang selama ini menyelimuti persaudaraan mereka. “Peduli apa aku dengan segala tata cara itu. Di antara kami tak ada tata cara lagi,” ujar Kartini dalam suratnya kepada Stella. “Perasaan kami sendiri yang menentukan sampai mana batas-batas feodal itu boleh dijalankan!”
TIM TEMPO