9 Jam di KPK, Anak Buah Ahok Jelaskan Misteri '15 Persen'
Editor
Widiarsi Agustina
Jumat, 15 April 2016 21:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta, Tuty Kusumawati keluar dari ruang pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah pemeriksaan berdurasi hampir 9 jam. Setelah masuk tanpa berkomentar apapun sekitar pukul 10.30 WIB, Jumat, 15 April 2016, batang hidung Susi baru terlihat lagi sekitar pukul 19.00.
"Ya, yang tadi masih pendalaman terkait '15 persen' itu, sepertinya banyak yang masih 'miss' pemahamannya," ujar Tuty di depan gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, 15 April 2016.
Maksud Tuty adalah soal kontribusi tambahan 15 persen dari keuntungan pengembang pulau reklamasi Teluk Jakarta untuk pemerintah.
Menurut Tuty, angka 15 persen itu adalah dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dikali luas lahan yang bisa dijual. "Sedangkan yang 5 persen, artinya bukan diturunkan dari 15 persen. Konversi 5 persen itu adalah lahan yang diberikan Pemerintah Provinsi, jadi beda," kata dia menjelaskan.
Tuty menekankan perlunya pemahaman akan konsep kontribusi tambahan tersebut, terkait proses pembuatan Rapedda reklamasi Jakarta.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Syarif mengatakan pihaknya memanggil Tuty untuk mendalami lagi proses pembuatan Rapedda reklamasi Teluk Jakarta. Tuty menjalani pemeriksaan KPK untuk ketiga kalinya, setelah sempat diperiksa pada 7 dan 12 April 2016 lalu.
"Pembuatan Raperda itu kan dikerjakan Pemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI, kami ingin tahu apa peran DPRD apa peran Pemprov," kata Laode di gedung KPK, Jumat.
Laode enggan berkomentar soal hasil pemeriksaan Tuty sebelumnya. "Saya belum dapat update dari penyidik, nanti kalau sudah selesai mereka presentasi dulu," kata dia.
Kata Laode, KPK masih mempelajari hasil pemeriksaan sejumlah saksi yang terkait dengan kasus suap reklamasi yang menyeret Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Mohamad Sanusi. Beberapa yang diperiksa selain Tuty, antara lain, staf khusus Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, Sunny Tanuwidjaja, serta bos raksasa properti Agung Sedayu Group Sugiato Kusuma, alias Aguan.
KPK mulai mengawasi Sunny sejak Februari 2016 lalu. Sunny, menurut seorang penegak hukum, pernah menghubungi Aguan untuk membahas kewajiban pengembang membayar kontribusi tambahan dalam Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Sunny pun sempat diduga menjanjikan sesuatu kepada Aguan yang diketahui meminta kontribusi tambahan dikurangi hingga 5 persen.
Raperda, saat itu sedang dibahas di Badan Legislasi Daerah. DPRD sempat meminta agar kontribusi tambahan diatur dalam Peraturan Gubernur saja. Tapi, kemudian, DPRD mendesak kontribusi tambahan itu diturunkan dari 15 persen menjadi 5 persen saja, dikali Nilai Jual Objek Pajak dikali lahan yang bisa dikomersilkan.
Ahok, sapaan Basuki, menetapkan pengembang pulau reklamasi Teluk Jakarta harus memberikan kontribusi tambahan 15 persen dari keuntungan mereka. Angka itu, kata Ahok sudah berdasarkan kajian.
"Ditentukan konsultan independen,” kata Ahok seperti dimuat Koran Tempo edisi 13 April 2016.
Ahok mengacu pada dividen yang diberikan PT Pembangunan Jaya yang mengelola taman hiburan Ancol, Jakarta Utara selama 30 tahun.
Perkara ini memanas saat KPK menangkap Sanusi, akhir Maret 2016 atas dugaan menerima suap dari bos perusahaan Agung Podomoro Ariesman Widjaja. Suap itu diduga untuk memuluskan pembahasan Raperda reklamasi teluk Jakarta.
Bukti uang suap sebanyak Rp 1 miliar disita saat penangkapan Sanusi dan karyawan Agung Podomoro, Trianda Prihantoro. Ariesman sendiri menyerahkan diri ke KPK tak lama setelah penangkapan tersebut.
Penangkapan ini berkembang hingga melibatkan Agung Sedayu Group, karena anak perusahaannya adalah pengembang pulau-pulau yang akan direklamasi.
YOHANES PASKALIS