Soal Jurnalis Asing Liput Papua, Ini Kata Dewan Pers
Editor
Angelus Tito Sunaryo
Kamis, 14 April 2016 17:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dunia kebebasan pers Indonesia masih menjadi sorotan menjelang Indonesia menjadi tuan rumah Hari Kebebasan Pers Internasional tahun depan. Berbagai kasus yang dinilai mengekang kebebasan pers antara lain kekerasan dan pembunuhan jurnalis, hingga maraknya fenomena wartawan abal-abal.
Salah satu kasus lagi yang kerap menjadi sorotan dunia internasional adalah pelarangan jurnalis asing meliput Papua. Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mempertanyakan kebijakan itu. Menurut dia, tak semestinya kebijakan tersebut diterapkan di provinsi di ujung timur Indonesia itu.
"Tidak mungkin menutup informasi di sebuah wilayah yang sedang mendapat sorotan dunia seperti Papua, rapat-rapat," kata pria yang kerap disapa Stanley itu.
Bagaimana sikap Dewan Pers terhadap ketertutupan Papua dari akses jurnalis asing? Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Stanley di kantornya pekan lalu.
Soal Papua yang masih terlarang diliput wartawan asing, bagaimana Anda melihat hal ini?
Tidak mungkin menutup informasi di sebuah wilayah yang sedang mendapat sorotan dunia seperti Papua, rapat-rapat. Ingat, dulu juga di Timor Timur masyarakat dibanjiri informasi bahwa rakyat Timor Timur ingin berintegrasi dengan Indonesia dan mengelu-elukan Indonesia sebagai saudara tuanya. Lalu, ketika menghadapi tekanan internasional, Dewi Fortuna Anwar menyarankan kepada Presiden B.J. Habibie untuk memberi opsi: otonomi khusus atau merdeka melalui referendum. Presiden tanya intelijen, dan laporan intelijen 90 persen akan menang. Akhirnya dikasih referendum, tapi malah lepas.
Menurut saya, pers saat itu terlalu meninabobokkan pemerintah dengan tidak memberitakan permasalahan di Timor Timur. Itu sama juga tidak ada kritik dari media. Nah, menurut saya, di sinilah peran vital pers untuk mengkritik kebijakan di tanah Papua, untuk menyelamatkan Indonesia. Barangkali dengan munculnya kritik, apakah dari media asing ataupun media Indonesia, kita jadi tahu bagaimana mengatasi hal itu. Daripada menutup rapat-rapat pintu informasi, lebih baik dilakukan cara-cara kehumasan, misalnya dengan mempersilakan datang ke Raja Ampat untuk wisata bahari. Padahal semua permasalahan ada di pegunungan tengah. Nah, menurut saya, sebaiknya dibuka.
Jadi masih ada trauma Timor Timur sebenarnya?
Iya. Makanya intelijen melakukan pengawasan terhadap jurnalis asing di Papua. Kalau memang tentang wartawan, Dewan Pers seharusnya terlibat. Tapi kami tidak pernah dimintai keterangan. Makanya di depan pengadilan terhadap wartawan asing itu saya sampaikan bahwa kami keberatan terhadap adanya clearing house ini.
(Pengadilan yang dimaksud Stanley adalah pengadilan terhadap dua jurnalis Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, karena meliput tanpa izin.)
Bukankah Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan agar Papua dibuka bagi jurnalis asing?
Iya, tapi itu hanya terjadi di atas. Yang di bawah, clearing house-nya tidak dibubarkan. Intinya, seharusnya clearing house dibubarkan. Saat polisi dan militer mengatakan akan tetap melakukan pengawasan, itu hanya beberapa hari setelah Jokowi balik ke Jakarta. Artinya, apa yang diperintahkan kepala negara tidak diikuti oleh birokrasi di bawahnya.
TITO SIANIPAR